Perempuan NTT dalam Pandangan Santi Sima Leda, Penulis Feminis asal Maumere
KUPANG, TOP News NTT ■■ Jelang hari Perempuan Internasional yang jatuh pada 8 Maret, media ini meminta pendapat ibu Maria Santisima Leda-Gama,S.Pd,M.Pd, seorang Penulis dan Pemerhati isue perempuan dan anak, yang cukup dikenal kalangan pemerhati perempuan dan anak. Santi punya pandangan istimewa tentang perempuan NTT dan perempuan pada umumnya. “Saya hampir 12 tahun giat menulis dan mengamati isue perempuan dan anak. Sejak saya kuliah jenjang magister di Yogyakarta mulai fokus menulis tentang isue perempuan dan anak nasional. Bagi saya perempuan itu adalah sumber kehidupan.” Ujarnya awali wawancara kami.
Dalam pandangan Santi yang sudah menggeluti dunia pena selama 12 tahun dan hasilkan 4 buah buku dan aktif menulis terkait isue-isue perempuan dan anak, mereka adalah aset bangsa. Pandangan inilah yang masih membuatnya bertahan menulis dan sering diundang menjadi pembicara isue perempuan dan anak tingkat daerah dan nasional.
“Bagi saya perempuan adalah sosok yang sangat istimewa karena rahimnya merupakan sumber kehidupan. Sebab, dari perempuanlah lahir keturunan manusia di dunia dan selain itu memiliki kodrat yang belum dapat tergantikan oleh kaum laki-laki yakni mengandung, melahirkan dan menyusui hanya perempuan diberi peran istimewa itu. Ada pun kemampuan lainnya yakni multifungsi untuk melakukan tanggung jawab yang seharusnya dilakukan laki-laki bisa juga dilakukan perempuan. Dalam banyak bidang pekerjaan perempuan juga diberi ruang masuk untuk menunjukkan kemampuan mereka. Intinya sudah banyak kontribusi perempuan dalam jalannya roda pemerintahan, pembangunan dan sektor lain.” Ujarnya tegas.
Khusus perempuan NTT, Santi memiliki penilaian dan pendapat khusus : “Perempuan NTT adalah sosok perempuan yang kokoh. Karena sesuai kondisi geografisnya sudah membentuk karakter perempuan NTT menjadi tangguh, bukan lemah. Namun, harus diakui bahwa masih banyak juga perempuan NTT yang belum mampu menggali potensi diri karena kurangnya rasa percaya diri dan dukungan keluarga dan lingkungan. Bentuk dukungan dan dorongan dari orang-orang disekitarnya terutama keluarga sangat dibutuhkan untuk bisa menggali potensi diri dan berani tampil di publik.” Demikian Ia berpendapat.
Santi yang memiliki nama pena Santisima Gama bersyukur dalam perjalanan hidupnya mendapat dukungan keluarga terutama almarhum papanya. Seperti satu persatu mimpinya terwujud. “Saya adalah “seorang pemimpi” dan setiap hal yang menjadi mimpi-mimpi saya tanamkan dan doakan yang dengan dukungan keluarga saya menggapai satu-satu mimpi besar saya hingga saat ini lewat dunia menulis. Bahkan saya berhasil menempuh kuliah S1 dan S2 dari hasil menulis karya opini dan buku. Ini benar-benar nyata sebuah perjuangan tanpa putus asa”. Cerita Santi tersenyum bangga.
Santi merasa prihatin masih ada perempuan NTT yang belum tergali potensi dirinya karena kurangnya percaya diri dan dukungan keluarga dan lingkungan. Masih banyak yang menjatuhkan image diri sendiri bahwa sebagai perempuan yang lemah, hanya sebagai ibu rumah tangga dan sering terkena dampak KDRT. Self confidensce-nya itu yang belum nampak.
“Itulah yang membuat saya tergigit untuk tetap berada dalam jalur ini sebagai penulis feminis yang ingin terus bersuara untuk hak-hak kaum perempuan di NTT. Tujuannya untuk dapat membantu mengangkat isue perempuan dan anak, mencari solusi tepat mengurangi dampak negatif pada kehidupan kaum perempuan. Intinya harus ada dukungan keluarga dan sahabat yang bisa memberi dorongan dan memegang tangan kaum perempuan untuk maju.” Tandasnya.
Menanggapi isue KDRT, sebagai Pemerhati Perempuan Santi menyatakan muncul kasus terjadinya KDRT kita tidak bisa melihat pada salah satu pihak saja. Kadang terjadinya KDRT karena keegoan dan keangkuhan diri pasangan mungkin atau juga penyebabnya dari perempuan sendiri. Sebagai perempuan yang memiliki naluri kuat untuk mencintai harus berkepala dingin mencari solusi bagi ketidakharmonisan dalam rumah tangga. Jika sama-sama keras hati, maka tidak ada jalan penyelesaian. Perempuan menurut Santi, diberi kelebihan yakni kelemahlembutan yang akan mampu menaklukan keegoan laki-laki atau suami. Sehingga bisa mencegah terjadinya keretakan dan KDRT maka keharmonisan dalam rumah tangga bisa di pertahankan.
Jika sudah diusahakan tapi perempuan masih alami KDRT maka harus segera mencari tempat atau wadah perlindungan untuk mencari mediasi atasi kasus ini. Jika hal ini diabaikan karena rasa takut akan ancaman suami, maka akan berakhir hal tragis isteri bisa bunuh diri atau bahkan nekad membunuh suami karena tingkat depresi yang tinggi. Kondisi tekanan batin akibat KDRT berdampak pada luka fisik dan psikis, menyimpan perkara ibarat tumpukan sampah yang diendap-endap maka suatu saat akan meluap, tidak terkontrol emosi jiwa menjadi suatu hal yang negatif bagi diri sendiri maupun pasangan bahkan anak menjadi korban.
Mengenai budaya patriarki yang masih ada kuat penharuhnya pada sebagian besar masyarakat di Indonesia dan khusus NTT, Santi ungkapkan bahwa dirinya adalah salah satu sosok perempuan berani yang dengan cara positif mampu keluar dari lingkaran budaya partriarki di kampungnya tapi tetap menghormati dengan sikapnya sendiri. Di mana pemahaman orang bahwa budaya ini rata-rata mengecilkan bahkan menghilangkan hak-hak dan potensi perempuan. “Saya alami budaya patriakhi yang terjadi dalam keluarga saya orang Lio, biasanya kita akan dijodohkan sama anak dari pihak tante saudari bapak. Dulu ada aturan tidak boleh kawin keluar dari lingkungan keluarga. Anak perempuan juga dilarang untuk mengambil keputusan penting di wilayah publik. Kebetulan almarhum Papa saya itu salah satu pemangku adat yang pastinya punya pengaruh besar dalam kehidupan anak-anak perempuannya. Berbeda dengan sikap saya adalah salah satu perempuan yang mampu keluar dari zona budaya itu mengangkat citra anak perempuan lewat jalur pendidikan tinggi. Saya lakukan perubahan cara berpikir orangtua dan keluarga dengan menempuh pendidikan tinggi hingga jenjang S2 dengan biaya dari hasil tulis menulis. Budaya partriarki sudah mengakar dan untuk merubah dengan instant itu mustahil. Saya memiliki cara pandang dan cara berpikir berbeda tanpa merubahnya. Dengan keberhasilan studi dan karier saya menjadi contoh dan kebangaan orang tua dan keluarga besar.” Ujarnya penuh haru dan bangga.
Solusi Santi dalam menghadapi dan mengakali agar budaya patriakhi tidak meniadakan dan mendiskriminasikan hak-hak perempuan karena adat yaitu dengan cara meningkatkan kapasitas pendidikan, meningkatkan kualitas SDM perempuan. Sebab perempuan berkualitas akan sulit diremehkan oleh kaum laki-laki. Selama 5-10 tahun terakhir ini, Santi melihat perempuan NTT makin maju dalam berbagai aspek. Baik di pemerintahan, politik dan hampir semua bidang profesi. “NTT makin menghargai potensi perempuan di berbagai lini kehidupan, semoga ini pertanda baik ada kemajuan pola pikir” Imbuhnya.
Santi juga menanggapi bahwa isue budaya patriarki berimbas pada kesetaraan gender yaitu memperjuangkan hak perempuan dalam berbagai aspek, perjuangan para aktivis perempuan tidak boleh sampai mengabaikan tanggung jawab sebagai isteri dan ibu dalam kehidupan rumah tangganya. “Perempuan jika diberi kesempatan untuk berkontribusi dalam berbagai aspek kerja harus melaksanakan tugas dan tanggung jawab itu tapi jangan sampai melupakan kodratnya sebagai ibu di rumah. Jangan abaikan waktu bersama anak dalam masa tumbuh kembang sebab di masa itu peran ibu lebih diutamakan” Tegas Santi.
Kepada pemerintah, lingkungan keluarga, masyarakat Santisima berpesan: “Jangan ragu memberi kesempatan kepada kaum hawa, dorongan dan kesempatan yang positif tanpa embel-embel apapun bisa dibuktikan oleh perempuan untuk ikut berpartisipasi bagi daerahnya, bangsa dan negaranya” Karena sejarah pernah mencatat sejak dahulu telah tampil perempuan hebat sebagai pemimpin negeri di dunia. Kaum perempuan juga mampu melakukan pekerjaan yang luar biasa jika diberi kesempatan yang sama bahkan lebih dari laki-laki. Perempuan dan laki-laki bisa bergandeng tangan membangun keluarga, lingkungan dan pemerintahan serta imam yang kokoh untuk mewujudkan peradaban bangsa, kata Santi.
Awal mula saya tertarik dunia pena, dunia literasi itu sejak 12 tahun lalu yakni tahun 2008 saya disupport sama almarhum ayah untuk menulis puisi dan waktu itu terlintas dibenak saya untuk menulis tentang sosok “Ibu Fatmawati.” Saya kagum padanya, karena ia adalah perempuan hebat di balik sosok Presiden Soekarno. Ia perempuan yang menjahit kain bendera merah putih lambang kemerdekaan RI. Lalu saya mencoba kirim puisi itu ke Redaksi Pos Kupang, seminggu kemudian puisi itu muncul profil saya. Saya ingat tanggal terbit atau edisinya 4 Mei 2008. Betapa bahagia saya waktu itu, karena di usia muda puisi saya dimuat di koran PK dan ada wajah saya di profil Koran Pos Kupang.” Jelas Santisima awal mula ketertarikannya kepada dunia tulis menulis.
Sejak dimuat puisi pertamanya, Santi mulai tertarik untuk terus menulis puisi, cerpen, opini. Semua tulisan itu selalu mengarah ke isu-isu anak dan perempuan. “Bagi saya, anak dan perempuan adalah 2 manusia yang tak dapat terpisahkan karena mereka adalah “sumber kehidupan”. Mereka bagian penting dari sebuah “peradaban bangsa dan budaya” Bayangkan saja bagaimana bumi ini jika hanya diisi oleh kaum pria tentu kehidupan tidak akan berkembang. Oleh sebab itu, sejak 12 tahun lalu saya fokus di dunia pena dengan mengangkat isu-isu tentang kehidupan anak dan perempuan. Saya tidak pernah habis bicara dan berpikir tentang dua makhluk ini. Mereka punya peran besar untuk kelangsungan hidup manusia, dunia jangan pernah anggap remeh hal-hal yang menyangkut kepentingan, kebutuhan dan hak-hak anak dan perempuan. Cintai, Hormati dan Lindungi mereka!!!” Ujarnya serius.
Perjalanan dunia pena saya berikutnya yaitu pada tahun 2010 saya beranikan menulis buku biografi dari Mantan Bupati Sikka (Mantan Ketua DPRD NTT.) Tulisan itu cukup sukses, Saya semakin berani menulis, sejak 12 tahun lalu bergelut di dunia pena saya menulis 4 buku dengan judul dan gendre berbeda namun tetap mengangkat isu-isu yang sama. Ada dua buah buku biografi, satu buku karya sastra puisi dan yang terakhir buku ilmiah hasil riset tesis saya bukukan di tahun 2018 usai menamatkan studi magister saya di Yogyakarta yang saya juliki kota buku, kota pena.” Jelasnya bersemangat.
Adapun tokoh-tokoh yang menjadi inspirasi Santisima dalam dunia menulis yakni: W.S.Rendra, Sorkarno, Pramoedya, Andrea Hirata, Dee Lestari, Ayu Utami, Albertin Endah mereka adalah penulis-penulis hebat yang dimiliki Indonesia.
“Saya senang membaca karya-karya mereka. Masing-masing mereka memiliki kekuatan bernarasi dengan pikiran-pikiran yang luar biasa dituangkan menjadi tulisan-tulisan berserjarah bagi peradaban bangsa dan budaya. Saya tidak jemu membaca tulisan mereka.”imbuhnya.
Di akhir wawancara Santi tersenyum dan mengucap syukur kepada Tuhan karena ia diberi pasangan, suami yang selalu men-support dirinya untuk tetap berkarya di dunia pena. “Bagi saya saat ini, suami dan anak-anak adalah sumber inspirasi terbaik dalam menulis di buku kehidupan.” ■■ juli br