Edy Nggaunggus : “Apa Itu Investasi MTN?”
Oleh : Eddy Ngganggus
MTN (Medium Term Note), adalah surat utang jangka menengah, dengan tenor atau jangka waktu berkisar 5 hingga 10 tahun, meskipun dalam beberpa praktek ada juga yang jangka waktunya hanya 1 tahun. Surat utang itu sendiri merupakan pengakuan tertulis bahwa emiten atau penerbit surat hutang mengakui berhutang kepada pembeli atau Investor atas surat utang yang di terbitkannya. Surat hutang ini masuk dalam kriteria surat berharga. Yang dimaksud dengan jangka waktu adalah, usia pengakuan utang sejak terjadi perikatan hukum sebagai dasar jual beli antar pembeli dan penerbit MTN tersebut.
Penerbit surat hutang adalah perusahaan yang memiliki kebutuhan dana untuk membiayai bisnis, namanya emiten. Sedangkan pembelinya umumnya adalah lembaga pembiayaan seperti bank, bertindak sebagai investor.
Karena tujuan penerbitan MTN adalah untuk memperoleh dana guna membiayai bisnisnya, maka model relasi keduanya (emiten dan investor) sebenarnya sama dengan dengan pinjam meminjam uang atau lasim disebut kredit . Jadi sebenarnya hubungan antara penerbit MTN (emiten) dan pembeli MTN adalah hubungan antara peminjam dan pemberi pinjaman. Jadi bila bank membeli MTN sebenaranya bank memberi pinjaman kepada penerbit MTN. Proses transaksinya sedikit berbeda dengan kredit . Jika dalam kredit calon debitur mengajukan permohonan kredit ke bank, sedangkan penerbit MTN menawarkan MTN kepada calon investor dengan beberapa manfaat imbal jasa yang menarik. Diantaranya suku bunga, penjaminan MTN berupa tagihan atau piutang emiten pada pihak ke tiga.
Bila dalam kredit , calon debitur yang “mengajukan permohonan kredit”, maka pada penerbit MTN , emitenlah yang “menawarkan” diri untuk diberi pinjaman. Kemudian emiten akan menerbitkan surat utang sebagai tanda pengakuan berutang kepada bank yang membeli surat utangnya. Karena itu profil perusahaan penerbit MTN tersebut haruslah benar-benar perusahaan yang bonafid yang di buktikan dengan kualitas catatan keuangan neraca dan laba rugi , baik yang sedang berjalan maupun history atau riwayat catatan laba rugi perusahaan beberapa tahun terakhir yang telah di lakukan audit oleh auditor bonafid yang telah diakui otoritas bank di Indonesia, lalu reting perusahaan tersebut berdasarkan pemeringkatan yang di lakukan lembaga pemeringkat bonafid yang juga sudah diakui oleh otoritas perbankan di Indonesia. Pada investasi MTN nominal jumlah penawaran surat hutang juga umumnya jauh lebih besar di bandingkan dengan jumlah kredit yang di berikan kepada debitur baik perorangan maupun perusahaan.
Perbedaan lain dengan kredit adalah, suku bunganya sudah di tentukan oleh bank atau krediturnya. Bila ada negosiasi bunganya pun tidak bisa jauh dari suku bunga dasar yang sudah di tetapkan bank yang dikenal dengan istilah SBDK (Suku Bunga Dasar Kredit). Sedangkan pada MTN bunga atau coupn rate atau kupon di tawarkan oleh penerbitnya atau emiten. Untuk merangsang pembeli, umumnya penerbit menentukan agregat coupon rate (sama dengan bunga dalam kredit) yang lebih tinggi dari agregat bunga kredit yang di tawarkan bank.
Agregat coupon rate yang saya maksudkan adalah metoda perhitunga bunga kredit dengan imbal jasa yang di tawarkan. Misalnya dana Rp 50 Miliar jika di salurkan dalam bentuk kredit selama setahun dengan suku bunga 11,5% (metoda perhitungan bunga annuitas) maka pendapatan bunga dalam setahun Rp 3,2 Miliar . Tidak demikian jika dana Rp 50 Miliar tersebut di investasikan dengan membeli MTN dengan coupon rate (metoda perhitungan bunga tetap) sebesar 10,5% dengan jangka waktu yang sama yakni setahun maka pendapatan yang di terima adalah Rp 5,2 Miliard, ada surplus sekitar Rp 2 Miliar.
Itulah yang selalu menjadi alasan pembenar bank mengapa mereka lebih tertarik membeli MTN daripada ekspansi kredit. Karena pertimbangan itu pula mengapa emiten selalu berani memberikan tawaran agregat bunga yang lebih besar daripada kredit.
Namun mesti di pahami risiko membeli MTN jauh lebih tinggi dibandingkan dengan menyalurkan kredit. Mengapa? karena;
- Pembeli MTN tidak menguasai agunan kebendaan dan tidak di lindungi dengan penjaminan dari lembaga penjamin kredit sebagaimana kredit. Sehingga bila terjadi gagal bayar, maka bank tidak memiliki agunan dan atau jaminan untuk menutupi kerugian gagal bayar tersebut.
- Sebagai penjamin surat berharga, Penerbit MTN umumnya menjaminkan piutang dagang atau tagihannya pada pihak ketiga. Tidak ada agunan kebendaan seperti halnya kredit.
- Perlindungan hukum terhadap pembeli MTN atau investor sangat lemah karena, penerbitan MTN tidak perlu mendapatkan ijin dari OJK. Dengan begitu control interest dari otoritas keuangan pada bank pembeli MTN akan lemah.
Memperhatikan risiko tersebut di atas maka, proses sedari awal, sense of risk pembeli MTN mesti benar-benar peka dengan cara melakukan penilaian yang selektif dan hati-hati agar bisa mencegah risiko yang sangat berat bila di bandingkan dengan risiko pemberian kredit. Karena bila terjadi risiko kredit bank masih memiliki dua jalan keluar yakni menjual agunan debitur, dan atau mengklaim pada lembaga penjamin untuk menutup pinjaman tersebut. Sedangkan bila penerbit MTN gagal membayar maka bank tidak memiliki agunan untuk bisa menggantikan kerugian tersebut.(***)
Penulis adalah seorang bankir yang sudah tidak aktif pada Bank NTT dan pernah menjabat sebagai kepala Cabang Bank NTT Kefa.