Jon Tubuhelan, “Kalau Pak Izak Diberhentikan Karena Tidak Capai Target, Mengapa Dirut Yang Lain Tidak?”

KUPANG-NTT, TOPNewsNTT||“Kan alasan pemberhentian Pak Izak sebagai dirut Bank NTT,  karena tidak mencapai target, kalau dia tidak mencapai target mengapa dirut yang sekarang sedang menjabat tidak mencapai target kok tidak diberhentikan? Itu juga penting diperhatikan karena sebuah negara hukum itu terkenal adanya asaz bersama dan semua yang melakukan hal yang sama harus diperlakukan sama juga di mata hukum atau dikenakan sanksi dan hukuman yang sama juga. Itu baru fair, kalau tidak, maka terkesan ada diskriminasi. Kok yang lain dibiarkan tetap menjabat sedangkan yang lain harus diberhentikan.” Demikian pertanyaan Jon Tubuhelan, Dosen Undana dan Ahli Tata Negara kepada media ini (Sabtu, 1/9).

Hal ini dipertanyakan Jon karena ia juga mengakui mengikuti pemberitaan terkait proses hukum yang sedang berjalan di PN lewat pemberitaan media. Dan pertanyaan menggelitik tersebut muncul dalam pikirannya sebagai warga NTT dan nasabah, serta sebagai ahli tata negara yang mengerti proses yang harus terjadi dalam sebuah organisasi sekecil apapun apalagi sebesar PT BD Bank NTT.

Ia menyoroti prosedur pemberhentian mantan Dirut Bank NTT Izak Eduard yang masuk ke ranah hukum dibandingkan dengan prosedur pemberhentian seorang pejabat dari jabatannya dalam sebuah PT yang sesuai aturan UU PT dan AD/ART PT ada kejanggalan sehingga wajar jika pak Izak mencari keadilan lewat lembaga yudikatif pengadilan.

“Didalam sebuah negara hukum, segala tindakan masyarakat maupun penguasa harus berdasarkan hukum. Kita tahu bersama bahwa direktur utama Bank NTT itu diangkat melalui prosedur RUPS dan semua Pemegang Saham menyetujui beliau menjadi Dirut Bank NTT. Tetapi kemudian dia diberhentikan melalui RUPS LB tanpa menyebutkan alasan. Dan ketika beliu diberhentikan, ini menjadi persoalan karena baik pengangkatan maupun pemberhentian itu harusnya mengikuti ketentuan hukum yang berlaku yakni UU PT dan AD/ART Bank NTT.” Ujarnya.

Maka, lanjutnya, “Jika dalam ketentuan hukum itu menyebutkan seorang direktur utama itu diberhentikan dengan alasan 1,2,3 dan seterusnya, maka harus dijelaskan apa alasan sehingga ia diberhentikan.  Sehingga dia juga tahu dan menerima bahwa karena salahnya atau kurang dalam suatu hal sehingga ia diberhentikan, sehingga ia akan menerima apa adanya keputusan.”

“Namun, sepertinya beliau mempertanyakan mengapa dalam sk Gubernur sebagai PSP tidak menyebutkan alasan pemberhentian. Maka pada akhirnya ia menempuh jalur hukum, menggugat lewat pengadilan atas perbuatan melanggar atau melawan hukum. Nanti kita tunggu saja keputusan pengadilan. Karena didalam sebuah negara hukumkan segala tindakan akan diuji oleh lembaga hukum yaitu Pengadilan sebagai lembaga yudikatif.” Tekannya.

Jon berpendapat bahwa sebuah keputusan yang merupakan sebuah tindakan hukum dari seorang pejabat itu seharusnya berdasarkan hukum.

“Kalau hukum mengatur dan mewajibkan harus dijelaskan apa yang menjadi alasan pemberhentian, kemudian prosedur pemberhentian itu harus diagendakan dalam suatu rapat dan yang bersangkutan diberi kesempatan melakukan pembelaan diri, maka jika itu tidak dilakukan maka sk itu dikatakan cacat secara substansi maupun secara prosedur, maka keputusan itu tidak sah, dan segala kerugian yang ditimbulkan sebagai akibat dari keputusan itu harus dipertanggungjawabkan dan harus dibatalkan demi hukum.” Tandasnya.

Dalam semua organisasi sekecil apapun, menurut Jon dalam prosedur menuju pemberhentian seseorang dari sebuah jabatan, seyogyanya harus melalui semua tahapan yang diatur dalam sebuah organisasi.

“Karena Bank NTT itu sebuah PT maka harus tunduk pada UU PT dan AD/ART dan semua aturan harus diikuti secara konsisten maka pada pihak yang diberhentikan merasa puas dengan keputusan pemberhentian karena prosedur dan tahapannya memenuhi ketentuan hukum baik UU PT maupun AD/ART dan karena keputusan tertinggi dalam sebuah perseroan adalah RUPS yang tertuang dalam akta RUPS yang mengangkat dan memberhentikan seseorang dari sebuah jabatan.” Tandasnya.

“Ok dari segi forumnya sudah RUPS LB karena keputusan pemberhentian itu bukan diakhir masa jabatan maka harus melalui RUPS LB,  tetapi kondisi yang memungkinkan dia ada dalam RUPS LB itu memenuhi atau tidak? Nah itu yang paling penting. Lalu yang bersangkutan sebelum keputusan pemberhentian harus diberi peringatan atau pemberitahuan bahwa ia melakukan kesalahan seperti ini. Sehingga beliau siap menghadapi itu dan bisa melakukan pembelaan diri dan diberi kesempatan memperbaiki kesalahannya. Kecuali dalam kasus berat misalnya sudah berhadapan dengan hukum yang tidak bisa ditolerir.” Pungkasnya.

“Kan alasannya karena dirut tidak mencapai target, kalau dia tidak mencapai target mengapa dirut-dirut yang sekarang sedang menjabat tidak mencapai target kok tidak diberhentikan? Itu juga penting diperhatikan karena sebuah negara hukum itu terkenal adanya asaz bersama dan semua yang melakukan hal yang sama harus diperlakukan sama juga di mata hukum atau dikenakan sanksi dan hukuman yang sama juga. Itu baru fair, kalau tidak ada diskriminasi. Kok yang lain dibiarkan tetap menjabat sedangkan yang lain harus diberhentikan. Jangan sampai ada sentimen pribadi dan lain sebagainya, tapi itu kita hanya berasumsi. Tapi yang jelas sekarang kasusnya sudah dibawa ke pengadilan sebagai lembaga yudikatif maka kita tunggu saja keputusan lembaga pengadilan dan kebenaran apakah ia salah, apakah pemberhentian itu sah atau tidak?” Katanya.|| jbr