Dari Senayan, Ayub Titu Eky Akan Perjuangkan Aturan Legalitas Kepemilikan Hak Tanah Ulayat Masyarakat Di Dapilnya

Legislatif Politik Profil

NTT, TOPNewsNTT.Com|| Mantan Bupati Kupang dua periode Ayub Titu Eky, lama tidak terdengar kabarnya di kancah politik usai menyelesaikan masa jabatannya sebagai bupati Kupang.

Ditemui saat Bimtek dan Konsolidasi Pengurus DPW NTT dan Kader Partai Solidaritas Nasional pada Jumat, 27/10 di Kupang, ternyata Ayub Titu Eky sudah terdaftar sebagai calon Anggota DPR RI Dapil 2 (Daratan Timor, Kota Kupang, Sabu Raijua, Rote Ndao, dan Sumba) dari PSI.

Tentu ini sebuah fakta menarik bagaimana seorang mantan eksekutif Kepala Daerah yang dulu diawasi oleh Legislatif, kini menyeberang ke kursi Legislatif untuk mengawasi kinerja eksekutif (pemerintah) di Senayan.

Yang lebih menarik lagi dari hasil bincang-bincang alasan pria asli Timor ini yang kini berusia 60an tahun mau bergabung dengan kelompok milenial di Partai yang terkenal sebagai partai orang muda ini.

Kepada media, pria gaek ini menjelaskan alasan yang  melatarbelakangi dirinya memilih jalur politik dengan partai anak muda PSI.

“Jadi fungsi fungsi DPR itu ada 3 yakni membuat kakau ditingkat pusat Undang-Undang, kalau ditingkat daerah itu Peraturan Daerah provinsi. Saya lihat peraturan-peraturan daerah begitu banyak, tapi belum diarahkan untuk pro kepentingan orang kecil. Karena peraturan daerah itu, kan paling tidak memberikan arah untuk terhadap hak regulasi, budgeting dan pengawasan.” Jelas Ayub.

Tiga hal ini, menurutnya berkaitan, “Katakanlah misalnya dana desa semakin banyak. Peraturan-peraturan  tentang itu hanya dari tingkat pusat tapi di tingkat daerah belum ada semacam kesepakatan di daerah untuk memfasiltasi kepentingan di daerah. Sehingga saya dulu di Kabupaten Kupang, saya punya program tanam paksa, paksa tanam itu untuk angkat ekonomi rakyat. Tapi tidak ada regulasi ke arah situ. Mau taruh anggaran ini, dia bilang tidak bisa. Harus ada perda untuk mengakomodir kepentingan daerah. Karena peraturan pusat ditentukan secara global tanpa melihat kondisi spesifik di setiap daerah. ” keluh Ayub.

Ia juga melihat penetapan  anggaran dan sebabkan makin tingginya kasus korupsi karena ada permainan anggaran yang begitu banyak sehingga dirinya berharap khususnya di PSI misalnya ia lolos di tingkat pusat ada kerja sama mendampingi DPR di tingkat provinsi dan kabupaten supaya searah dengan visi kabupaten bahwa anggaran benar-benar untuk rakyat.

“Pengawasan lemah karena masih banyak pihak ikut bermain kotor bagaimana DPD dapat melakukan pengawasannya terhadap penggunaan anggaran tersebut bagi kepentingan rakyat?” Imbuh Ayub.

Ayub menetap sektor apa saja yang akan menjadi perhatiannya jika ia dipercaya Tuhan dan masyarakat sebagai wakil rakyat NTT di DPR RI.

“Regulasi yang jelas dan nyata atas hak tanah ulayat dan peraturan penggunaan dana desa. Keduanya menurut pengalaman saya selama menjadi bupati Kupang diatur dengan UU dan peraturan pusat yang tidak menyentuh kepentingan di daerah. Seharusny ada peraturan daerah yang sesuai dengan kondisi daerah dan kepentingan masyarakat di daerah.” Cetusnya gamblang.

Ia mencontohkan terkait dana desa, arahan pusat harus seperti ini, tapi misalnya kepentingan daerah karena peraturan pusat tidak memperkuat fondasi ekonomi daerah. Padahal seharusnya dengan adanya dana desa, ada kemajuan dari desa.

Termasuk syarat penetapan kepala desa dan aparat desa dan karenanya kurang memahami nomenklatur pusat terkait penggunaan dana desa.

“Kita kan daerah otonomi dan seharusnya ada  ruang dan keleluasaan  bagi daerah dengan  regulasi daerah yang sesuai kondisi daerah, menggunakan dana desa itu. Jika semua harus menggunakan aturan dari pusat, berarti hak otonomi daerah tidak ada. Jadi DPR sebagai wakil rakyat menampung aspirasi masyarakat kira-kira bisa tidak ada penyesuaian peraturan daerah?” Jelasnya.

Fokus kedua yang paling penting adalah peraturan-peraturan tentang implementasi dari UUD ada di dalam peraturan lebih tinggi tentang tanah masyarakat, tanah adat atau tanah ulayat. Itu yang paling prinsip.

Yang ingin diperjuangkan adalah dengan adanya reformasi agraria yang terakhir peraturan presiden yang paling terakhir no.23/2023 yang baru ditabdatangani pada 26 Oktober, tentang pemanfaatan tanah secara efektif untuk percepatan pembangunan, tetapi dalam pengembangan aturan tentang aturan in  pengakuan terhadap hak ulayat tidak ada sama sekali.

“Bahkan dalam UU Pokok Agraria No.5/1960 didalamnya ada satu item yang menjelaskan bahwa Hukum Pertanahan Indonesia menganut hukum tertulis berdasarkan hukum Barat baru kemudian hukum adat. Tapi sampai sekarang implementasi hukum adat itu sendiri tidak ada. Diakui saja tapi tidak regulasi hukum yang menetapkan hukum ada secara real. Seperti abstrak saja. Tidak aturan secara resmi. Sekarang bahkan ada aturan sertifikasi tanah, mengapa hanya sertifikasi hak milik perorangan, tetapi tidak ada sama sekali tentang hak milik ulayat. Padahal dalam UUD pasal 18b ayat 2 “Negara mengakui dan menghormati masyarakat hukum adat” dan hak-haknya juga masih ada. Bahkan ada hak yang paling prinsip hak atas tabah tapi mengapa dalam penetapan aturan hukumnya tidak ada pengaturan terkait itu.” Ujarnya heran.

Selama ini, sambung Ayub, penetapan berupa sebuah surat kepemilikan secara hukum terhadap hak tanah ada atau tanah ulayat tidak ada, padahal Pengakuan dalam UUD ada. Masyarakat sebagai pemiliknya ada tapi legalitas berupa sertifikatnya tidak ada. Negara hanya mengakui hak kepemelikan perorangan. Padahal tanah ulayat itu kepemilikannya bersama. Hak ulayat artinya sebagai koordinator untuk mengaturnya, bukan kepemilikan pribadi tapi hak bersama. Jadi hak kepemilikan dianggap seolah-olah tidak ada secara hukum. Payung hukum yang melindungi juga tidak ada. Padahal berdasarkan regulasi harusnya ada.

Di sistem sertifikasi yang ada di desa-desa itu secara perorangan, kalau didaerah kota bolehlah, tapi didesa orang beli tanah habis jual. Jadi pengamanan hak atad tanah ulayat tidak ada.

Padahal dalam hukum adat tidak boleh tanah dijual belikan dan dijadikan hak kepemilikan perorangan. Seperti prinsip dalam Alkitab bahwa tanah adat tidak boleh dijual. Nah masyarakat adat biar tidak sekolah tapi mengerti aturan itu, karena mereka  menganggap bahwa manusia bisa bertambah tapi tidak bertambah. Sehingga masyarakat adat tidak ingin tanah adat itu habis terbagi ke orang luar.

Sektor lain adalah program “tanam paksa, paksa tanam” dan pembangungan destinasi wisata religi taman Eden yang belum terrealisasi saat ia menjabat sebagai bupati ingin diwujudkannya.

“Program Tanam Paksa, Paksa Tanam itu kan tujuannya sama seperti programnya Gibran Cawapres Golkar bersama Prabowo yang berkoalisi dengan PSI yakni “Green Economy.” Kedua program itu hasil akhir atau tujuannya adalah mensejahterakan masyarakat dengan Gerakan Menanam Pohon. Karena sebenarnya Perda pengembangab ekonomi daerah agar ada APBD yang menunjang program itu. Sama seperti Taman Eden. Tahun 2019 ada Pertemuan Ekonomi Dunia dicetuskan program di Kopenhagen mewajibkan orabg menanam tanaman buah-buahan di ruang publik agar orang yang tidak punya tanaman di rumah bisa ambil makanan. Di Tahiland pun mewajibkan masyarakat yang bepergian menyebarkan biji-bijian dari tanaman yang menghasilkan buah. Beda dengan menanam pohon yang tidak menghasilkan buah malah menghasilkan daun keringa yang menjadi sampah saja. Tapi kalau menanam tanaman buah-buahan akan menghasilkan makanan untuk dimakan dan dijual. Jadi itulah yang namanya Green Economy.” Tandas Mantan Bupati Kupang pencetus program “Tanam Paksa, Paksa Tanam” ini.

Alasan Ayub Titu Eky memilih PSI adalah karena semangat dalam komitmen partai memberantas korupsi.

“PSI punya prinsip ‘penyakit yang paling  berbahaya adalah Mencuri!’ Dan usulan PSI agar memiskinkan para koruptor agar mereka merasakan penderitaan masyarakat yang dicuri uangnya berwujud APBD dan APBN yang dibayarkan masyarakat ke negara ini. Harusnya dikelola oleh pejabat dan kepala daerah untuk kesejahteraan masyarakat, tapi malah dicuri maka mereka harusnya dihukum berat dengan merampas harta hasil korupsinya dan miskinkan mereka. Itu shock therapy.” Jelas Ayub.

Ayub berjanji akan memperjuangkan regulasi yang mengatur pengembalian tanah rakyat yang dirampok oleh siapa saja.

“Pemerintah harusnya mengatur tanah adat untuk dikelola oleh pemiliknya, jangan diambil alih walaupun dengan alasan program pemerintah. Terhadap investor dibatasi hanyak boleh menyewa atau HGU saja. Tidak boleh diberi ijin memiliki hak walau membeli sskalipun. Agar setelah pengusaha atau investor selesai beroperasi di NTT mereka kembalikan tanah rakyat adat untuk dikelola oleh mereka. Masyarakat adat mendapat manfaat sewa dan hak milik tetap ada. Sehingga masyarakat sejahtera bahkan membangun usaha dilahan mereka. Juga regulasi agar ada kerja sama penyerapan tenaga kerja pribumi dalam setiap perusahaan yang dibangun dengan Sistem HGU.

“Yang akan saya perjuangkan memiskinkan koruptor, kembalikan tanah rakyat, perjelas hukum tanah aturan dan administrasi kepemilikian. Masyarakat adat tidak boleh menjual tanah.  Hukum nasional harus mengakomodir hukum adat dan memberikan perlindungan kepada hak kepemilikan masyarajat adat atas tanah adat. Atas nama program apapun, pemerintah tidak boleh mengambil tanah adat. Jangan lagi pemerintah menggunakan hukum Barat untuk memberikan kepastian hukum bagi tanah adat, tapi perjelas hukum adat. Pemerintah harus berpihak masyarakat dan memberikan kepastian hukum bagi hak rakyat. Mengapa kita masih pakai hukum Barat sedangkan kita sudah usir mereka dari Indonesia, sama saja kita masih dijajah. Orangnya sudah tidak ada hukumnya masih dipakai.” Cetus Ayub tegas.

Ia berjanji akan berdiri bersama masyarakat untuk memperjuangkan masyarakat adat atas tanah adat. Bagi investor, pemerintah memfasilitasi mereka dengan melibatkan pemangku adat untuk hanya menyewa tanah adat masyarakat bukan diambil alih menjadi tanah negara dengan memberikan sejumlah uang. Masyarakat dikasi uang dan akan segera habis dan akan miskin karena tanah sudah terjual dan uang habis. Pemerintah harus melindungi hak masyarakat dengan mewajibkan investor bermitra dengan pemilik tanah bagaimana mengelola tanah menjadi aset bermanfaat.

Banyak tanah dimiliki oleh orang luar NTT karena kebijakan tersebut, dan orang asli NTT malah hidup miskin dan kos-kosan karena tanah sudah habis, anak cucu hidup miskin, sebut Ayub. Inilah terjadi pelarian aset dari miskin kepada yang kaya maka kemiskinan tidak akan terputus dari NTT. Karena aset berharga masyarakat adalah tanah. Dakam UU negara harus melindungi “segenap bangsa Indonesia (warga negara) dan Tumpah Darah (tanah).” Bukan merampas dengan legal.

Ia menyarankan masyarakat adat sebagai pemilik tanah harus dilindungi, aset mereka harus dijaga dan dilindungi. Harus ada regulasi yang mengatur kemitraan investor sebagai ‘bapak angkat’ bagi masyarakat untuk bersama mengelola tanah adat sebagai aset masyarakat. Sehingga tidak terjadi pelarian aset.

“Saya akan perjuangkan ini lewat kursi dewan RI karena fungsi dewan yakni salah satu membuat UU yang saat menjadi Bupati tidak bisa saya perjuangkan.” Tutup Ayub.||jbr