Yosef Lede, Anton Natun dan Tome da Costa Angkat Bicara Soal Sidang Pembahasan RAPBD Kab.Kupang 2021/2022

OELAMASI, TOPNewsNTT||Terhadap Proses Persidangan Pembahasan RAPBD TA 2021/2022 kabupaten Kupang, sejumlah anggota DPRD kabupaten Kupang, antara lain Yosef Lede, Anton Natun dan Tome da Costa, mengajukan protes kepada pimpinan sidang yang berlangsung pada 26/11 lalu tersebut.

Protes dilakukan oleh Yosef Lede dan hampir saja terjadi insiden jotos darinya kepada pimpinan sidang karena menganggap sidang berjalan tidak sesuai mekanismen persidangan yang tertuang dalam Tatib dan PP no 12/2018.

Berikut penjelasan Yosef Lede, Anton Natun dan Tome da Costa, tentang alasan dibalik sikap ketidaksetujuan mereka terhadap proses persidangan.

Yosef Lede yang adalah anggota DPRD 3 periode dan mantan ketua DPRD kabupaten Kupang ini menjelaskan sebagai berikut :

“Jadi dalam ketentuan Perundang-Undangan,  batas waktu penetapan RAPBD tanggal 30/11, jadi dalam tata tertib juga pemerintah harus menyiapkan dokumen persidangan selama 7 hari sebelum persidangan untuk dipelajari.

Tapi pada kenyataannya, pas kita mulai sidang dokumen baru ada di ruang sidang pagi itu. Nah bayangkan dokumen setebal 40cm kita membahas anggaran sekian ratusan milyar contohnya anggaran penyertaan modal, jadi dasar itulah makanya Banmus bekerja dalam menetapkan agenda persidangan. Jadi setelah badan musyawarah,  agenda itu kita sahkan. Pada waktu pengesahan paripurna agenda sidang kami ada beberapa orang, saya, Pak Anton Natun, Tome da Costa, mempertanyakan, kenapa jadwal yang ditetapkan Badan Musyawarah 5 hari.

Sejujurnya  pembahasan anggaran pokok hanya 2 hari, 3 hari itu hanya seremonial. Jadi kami minta karena dokumen persidangan juga baru sampai di meja kami pada waktu sidang dan belum sempat dilihat, dibaca dan pelajari, kami minta supaya agenda persidangan ditambah 2 hari sehingga kami betul-betul mempelajari dan memutuskan hal yang baik dan benar. Karena dalam ketentuan UU juga boleh sampai dengan  tanggal 30 Nopember.

Nah di  forum inikan suara terbanyak setuju 5 hari,  jadi atas dasar itu, pimpinan sidang menginginkan dan teman-teman juga setuju cukup 5 hari walaupun belum baca dokumen, dan saya tidak tahu juga kenapa mereka mau setuju-setuju hal yang belum tahu dan belum baca seperti itu, setelah kami melakukan sharing pendapat dan pertimbangan kalau bisa ditambahkan 2 hari lagi.

Nah atas dasar suara terbanyak ditetapkanlah 5 hari dan forum setuju karena memang sudah suara sepakat jadi ya kami walaupun menolak dan  meminta tambahan waktu, tapi kami menghormati keputusan paripurna.

Didalam perkembangan persidangan, itu tahapan sudah tidak dipakai lagi. Padahal forum persidangan menginginkan itu tahapan, karena kita harus menghormati paripurna itu.

Ternyata didalam tahapan setelah ada pemandangan umum fraksi-fraksi, (jadi saya curigai saja karena pemandangan umum fraksi-fraksi ni kan banyak yang tajam pertanyakan banyak hal kepada pemerintah, termasuk Fraksi Golkar yang ketua Partai Golkarnya adalah Ketua DPRD Kabupaten Kupang. Termasuk ada juga pertanyaan yang ditujukan kepada ketua DPRD menyangkut Bandara El Tari yang diserahkan tanpa suatu mekanisme),  Jadi karena pertanyaan-pertanyaan itu sangat tajam, sehingga secara fakta tanggapan bupati atas pemandangan fraksi-fraksi tidak diserahkan dalam paripurna. Kami tidak tahu kapan serahkannya tapi yang jelas tidak dibahas dalam persidangan. Padahal mekanisme persidangan adalah mekanisme paripurna, dan sidang yang terhormat.

Agenda persidangan yang sudah diserahkan lewat keputusan paripurna ada yang namanya pembahasan komisi. Maka dilaksanakanlah pembahasan komisi oleh komisi-komisi.

Dan kalau kita lihat contoh, di DPR RI juga ada pembahasan komisi. Masa di DPRD kabupaten Kupang justeru menghilangkan itu pembahasan komisi. Nah, ini yang kita tidak habis pikir kenapa pimpinan DPRD bilang ini hanya kebijakan pimpinan DPRD?

Saya mau bilang didalam UU manapun, tidak ada pembahasan komisi namanya kebijakan. Jadi kalau pimpinan DPRD bilang ini kebijakan, mereka terlalu salah besar. Karena dalam UU tidak membicarakan kebijakan. Tapi pembahasan Komisi adalah sebuah kepastian aturan yang harus dilaksanakan. Makanya persidangan ini dilanjutkan dengan komisi. Paling tidak komisi itu 1 hari setengah.

Setelah pembahasan komisi kami buat dalam satu laporan, pembahasan komisi itu tidak dipakai katanya itu kebijakan, jadi itu tidak dipakai. Maka tidak ada juga tanggapan bupati atas pembahasan komisi ini. Padahal dalam agenda persudangan jelas ada dan dianggap seperti hanya mainan. Hanya kebijakan pimpinan katanya. Nah saya protes dan kita inginkan agenda itu dipakai, karena itu juga diatur dalam ketentuan perundangan-undangan bahwa komisi bisa melaksanakan pembahasan komisi. Tahapan inilah yang dilewati dan kami pertanyakan. Termasuk kami mempertanyakan pembahasan komisi-komisi.

Saya dan teman-teman didalam pembahasan komisi ini cukup jeli karena kami belum baca dokumen secara keseluruhan tapi kami diberikan kesempatan di komisi, kami teliti bahas pada hal-hal yang perlu kami pertanyakan untuk kepentingan rakyat yang belum terakomodir dalam RAPBD atau rancangan. Makanya dalam pembahasan komisi itu kami masukkan anggaran-anggaran contohnya kami meminta dana monitoring evaluasi dana sharing dari Dinas Sosial ( ini yang kemarin tidak ada),  itu untuk kepentingan nonitoring evaluasi.

Karena kita dapat dari pemerintah pusat itu  Rp250M pertahun dana bantuan sosial kepada masyarakat yang kurang mampu maka pemerintah daerah wajib menyiapkan dana-dana bantuan seperti itu. Nah inikan tidak tersedia.

Nah, didalam proses persidangan mereka melanjutkan ke tahapan badan anggaran, sidang sudah melewati dan tidak memakai itu dua agenda. Jadi saya pertanyakan.

Pada waktu pembahasan Badan Anggaran, ketua DPRD ni hanya tanya ketok, tanya ketok, seolah-olah kami anggota DPRD ni hanya pergi mendengar dan setuju.

Saya ini anggota DPR yang dibayar mahal untuk pergi ke kantor bukan duduk maen hape dari pagi sampai waktu pulang terus pergi duduk dan setuju- setuju. Tidak bisa begitu.

Kita perlu mengoreksi juga hal-hal yang disampaikan dan diajukan oleh pemerintah supaya apa yang kita tetapkan memang baik dan benar serta dapat dipertanggungjawabkan dikemudian hari.

Karena ada hal-hal yang perlu kita koreksi contohnya kita kekurangan uang, ini jadi point penting dalam pemberitaan ya, postur anggaran kita yang diajukan pemerintah dalam KUA PPS dalam perencanaan, ada  devisit sebeaar Rp58M waktu itu.

Devisit itu artinya, kita kekurangan uang didalam pembiayaan program-program yang diajukan.

Nah, sementara kita mendapatkan uang dari kemarin pengembalian uang sewa gedung pihak ketiga yang disetor oleh Hypermat itu, kita sudah kekurangan uang dan kita sedang dapat uang, kan semestinya kita menggunakan uang itu untuk membiayai program yang devisit itu. Itu normalnya.

Tetapi dalam RAPBD, kita bukan menggunakan itu uang untuk membiayai program yang tertunda, tapi malah kita pergi gunakan lagi itu uang untuk penyertaan modal di Bank NTT.

Yang pasti, saya punya analisa, tidak ada yang namanya sebuah bank, bunga pinjaman sama dengan bunga simpanan. Yang pasti bunga pinjaman lebih besar dari bunga simpanan supaya dia bisa untung dan dapat mengoperasikan banknya. Itu sudah pasti.

Nah, kita simpan kita punya anggaraan dalam penyertaan modal tetapi dilain pihak, setelah simpan kita punya uang dalam penyertaan modal di bank daerah, kita  ajukan lagi pinjaman daerah. Kita pinjam lagi uang kita yang kita ada simpan di bank itu dengan bunga yang lebih tinggi dari bunga simpanan. Saya tidak tahu pemahaman teman-teman, tapi saya punya pemikiran seperti itu sehingga saya minta bicara.

Tetapi dalam proses persidangan kemarin pimpinan tidak mau kita bicara, dia tanya dia ketok, dia tanya dia ketok.

Dan karena dia tidak pernah mau memberikan kesempatan kita koreksi, makanya sebagai anggota DPRD saya bukan tidak menghargai pimpinan, tapi kita wajib  koreksi sikap pimpinan, tapi ketua DPRD tidak mau menyetujui. Katanya apa yang kita sahkan sesuai dengan KUA/PPS.

Saya berpikir secara logika, ketua DPRD ni paham tidak terhadap pembahasan anggaran? Bagaimana mungkin apa yang disahkan dalam Badan Anggaran sesuai dengan KUA/PPS? KUA/PPS itu adalah perencanaan, maka setelah dilakukan perencanaan maka dibuatlah yang namanya RAPBD. Yang kita bahas ini RAPBD bukan kita bahas yang namanya KUA/PPS. Maka saya pertanyakan ke pimpinan, yang kita sahkan ini sesuai dengan pembahasan komisi yang kita bahas atau KUA/PPS. Jelas dalam rekaman kemarin dia bilang jelas, kita ketok sesuai dengan KUA/PPS, makanya saya tidak setuju. Saya marah, loh kemarin kita bahas komisi untuk apa? Ko kamu ketok sesuai KUA/ PPS? Nah ini yang sebenarnya tanda tanya ada indikasi apa dibalik ini sehingga pimpinan dengan semena-mena memotong semua tahapn persidangan dan lain-lain? Dia tidak pernah mau memberikan kami kesempatan untuk bicara. Mereka mau cepat-cepat ketok. Padahal kita tidak membahas itu semua. Itulah yang menjadi kemarahan saya waktu itu.

Jujur saya sebagai anggota DPR 3 periode tidak paham model persidangan seperti apa kali ini. Ada apa dibalik ini semua. Mesti ditelusuri ada apa ini?

Jadi saya sempat berbicara waktu persidangan, saya bilang Bank NTT sekarang kan lagi goyang, mau colaps ini. Saya omong, saya bicara keras. Dan  sudah dua kali penyertaan modal saya tolak, karena perintah presiden jelas : “dalam keadaan Covid, dalam keadaan ekonomi begini lesu, kalau ada uang di pemerintah, jangan simpan di bank tapi dikelola dalam bentuk program-program kerja untuk bantu rakyat keluar dari kondisi ekonomi yang begini sulit.” Itu yang dikatakan presiden dan kami mengikuti apa yang dikatakan presiden.

Kok hari ini kita sudah devisit anggaran, kita butuh anggaran, kita dapat anggaran, kok  kita tidak pakai itu anggaran, malah disimpan di bank NTT sebagai penyertaan modal? Dan yang jadi tanda tanya besar dan ini saya bilang ada indikasi, kita punya uang kita simpan lalu kita pinjam kembali kita punya uang kembali dengan bunga besar. Ada apa ini? Dan ini indikasi, saya bilang.

Saya, pak Anton Natun dan Tome da Costa tidak menyetujui ini, karena kami yakini ini ada indikasi. Kita lihat bersama di Bank NTT sudah goyang, dan kenapa setiap daerah diwajibkan untuk lakukan penyertaan modal? Karena untuk menutupi hal-hal lain yang terindikasi ada masalah disana.

Jadi itulah kondisi yang mendasari terjadi kericuhan disaat sidang pembahasan anggaran, karena sekali lagi pimpinan DPRD saya pikir sudah tidak menghargai kehormatan lembaga dan sudah melecehkan hak-hak anggota DPRD dan lembaga DPRD. Tidak memberikan kesempatan bicara bagi anggota.

Padahal, sekali saya mau katakan, kami dibayar mahal oleh negara untuk melakukan hal-hal yang berkaitan dengan tupoksi kami yaitu melakukan pembahasan anggaran demi kepentingan rakyat. Nah ini,  kami dikekang dan tidak diberi kesempatan. Tanya ketok, tanya ketok, kami minta bicara, pimpinan sidang bilang “saya sudah ketok, saya sudah ketok.” Nah siapa yang tidak marah?

Di lembaga yang terhormat ini, apabila kita melakukan hal-hal yang bahkan sampai ke adu argumen dan adu fisik untuk membela kepentingan rakyat, dijamin oleh UU dan tidak jadi masalah.

Karena yang kami lakukan bukan hal-hal yang demi kepentingan pribadi tetapi memperjuangkan kepentingan rakyat. Jadi saya melakukan itu karena saya memperjuangkan kepentingan rakyat, yang hari ini lagi kondisi ekonomi lesu, dibantu pemerintah pusat, maka kewajiban pemda menyiapkan dana sharing evaluasi untuk mengawasi dana Rp250M yang diberikan pemerintah pusat untuk mengatasi masalah ekonomi di daerah. Itu yang saya lakukan kemarin.

Kemarin memang masalah saya marah protes seperti keluar di media sudah diselesaikan antar pribadi saya dengan ketua. Namun agenda tetap dilewati ke pembahasan anggaran.

Dan kemarin pada waktu rapat gabungan komisi, teman-teman kan menanyakan keberadaan kami, ini kaka tulis karena ini penting, kami mempertanyakan keberadaan 26 orang anggota DPRD diluar Badan Anggaran ini, peran dan fungsinya apa di dalam pembahasan anggaran? Kan tidak ada jika dilihat dari proses persidangan kemarin!  Karena di KUA/PPS itu, sementara Badan Anggaran dan TPAD. Selanjutnya di Komisi, hasil pembahasan komisi tidak dipakai sama sekali. 

Kita lanjut didalam pembahasan Badan Anggaran, ke 26 orang anggota DPRD ini tidak terlibat dalam pembahasan di Badan Anggaran. Sekarang pertanyaan saya, “keberadaan 26 orang yang diluar Badan Anggaran apa kontribusinya di dalam penetapan APBD kabupaten Kupang? Didalam Pembahasan dan persetujuan APBD? Tidak ada sama sekali. Hal-hal prinsip inilah yang kami pertanyakan dalam proses kemarin kepada pimpinan DPRD.

Alasannya PP :  12/2018, dalam PP :12/2018 tersebut betul melakukan pembahasan dengan komisi, komisi memang harus melakukan pembahasan sehingga hasil pembahasan komisi itulah yang dilaporkan kepada pimpinan DPRD dan Badan Anggaran.

Jadi jangan menafsirkan nalar yang salah dan tidak sesuai aturan. Itu yang benar, kita mau bukti. Coba lihat di DPRD provinsi dan DPR RI, tetap komisi berperan didalam pembasahan komisi terhadap hal-hal teknis yang diajukan pemerintah dalam anggaran.

Sedangkan dalam aturan peraturan Perundang-Undangam, komisi masih merupakan alat kelengkapan dewan yang diatur dalam Tatib dan PP 12/2018, maka komisi harus melaksanakan tugas. Tugas pembahasan komisi dilaporkan ke pimpinan DPRD dan Badan Anggaran di paripurna, jadi jangan salah menafsirkan, kenapa di DPR RI komisi masih melakukan pembahasan anggaran dengan mitra kerja? Contoh komisi 3 masih melakukan pembahasan anggaran dengan Yudikatif ada kejaksaan, KPK, ada Polri. Loh di kabupaten Kupang tidak melaksankan, apa yang menyebabkan itu? Karena mereka mau memperpendek persidangan, berarti ada sesuatu dibalik itu. Ada apa dibalik itu? Jadi kalau sesuai mekanisme kita jalan, agar apa yng diputuskan sesuai, benar dan tidak berdampak hukum dikemudian hari.

Tapi karena pimpinan sudah melakukan mompatan dan menetapkannya, jadi kita menghormati keputusan pimpinan dewan. Terkait insiden saya protes kematin dan mau pukul dia, dan ketua dewan sudah meminta maaf di forum yang terhormat, artinya dia sudah akui kesalahan proses persidangan kemarin yang dilakukannya , maka sidang dilanjutkan.

Kemarin yang saya paham hanya ada dua dinas yang kita bahas di komisi yang bahas di Badan Anggaran ada dua point saja sebenarnya; yaitu yang saya perjuangkan anggaran untuk Dinas Sosial kita menyikapi bantuan sosial dari pemerintah pusat dengan menyiapkan dana monitoring evaluasi apakah fana Rp250M yang begini besar ini tepat sasaran dan tepat waktu tidak?  Tepat jumlah tidak? Karena kita tahu dibanyak tempat banyak masalah terhadap bantuan sosial yang dikasih ke masyarakat tapi dampaknya tidak ada.

Kita lihat stunting masih begini banyak di kabupaten Kupang, padahal dana PKH itu untuk 3 komponen yang diberikan dalam konteks kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan sosial. Dampaknya seperti apa? Makanya kita perjuangkan dana monitoring evaluasi untuk kita mengevaluasi. Apakah dana sudah disalurkan sesuai dan tepat sasaran tidak, itu yang saya ribut kemarin. Nah ini tidak disetujui maka saya ribut. Loh kok pemkab Kupang dapat Rp250M tetapi tidak ada dana sharing? Maka banyak kasus dana sosial yang ada di kabupaten Kupang, karena kita tidak monitoring evaluasi.

Yang kedua saya minta juga, karena kita kondisi Covid sudah mulai normal, masa kita mematikan olah raga yang ada di kabupaten Kupang? Tidak ada anggaran 1 sen pun untuk pembinaan olah raga yang di kabupaten Kupang. Maka saya minta untuk di kabupaten Kupang dianggarkan.

Pak Anton Natun juga menganggarkan ada 297 kk yang kena dampak badai seroja mereka tinggal di lompor di desa Oesena itu, sampai sekarang pemerintah pusat belum bantu dan sekarang sudah musim hujan mereka tidak tahu mau buat apa. Hanya ada rumah atap daun dan lantai lompor tanah sawah dan mereka tidur tanpa ada alas tikar apapun.

Pak Anton Natun memperjuangkan itu dengan menyiapkan dan Rp500 Juta untuk kita bisa beli pasir dan semen untuk buka dasar sehingga mereka punya lantai untuk mereka bisa tidur, bukan tidur di lompor.

Jadi untuk memperjuangkan kepentingan rakyat seperti ini yang kita ribut kemarin, bukan ribut untuk hal-hal bodoh.

Nah ini kita tidak diberikan kesempatan kepada kami untuk bicara dan kami siapkan anggaran untuk itu. Nah kami ada di sana untuk siapa? Kan untuk untuk rakyat? Kalau kami tidak pergi bikin apa-apa, lebih baik kami jangan jadi dewan. Dewan punya tugas adalah mengawal dan memperjuangkan hak rakyat.” Jelas Yosef Lede mengungkapkan.

Sementara Anton Natun anggota DPRD Kabupaten Kupang menjelaskan situasi insiden di sidang DPRD Kabupaten Kupang bahwa sebenarnya tidak akan ada masalah jika saja ketua Dewan memahami mekanisme persidangan secara benar. Ternyata ketua dewan tidak paham mekanisme persidangan secara baik dan benar.

Yang tidak dipahami, yang pertama dalam jadwal pesetujuan Badan Musyawarah yang kemudian juga disetujui dalam paripurna, soal tahapan jadwal persidangan, itu tidak dilalui secara baik. Misalkan pada saat pemandangan umum fraksi-fraksi terhadap nota keuangan Bupati, itu ada tanggapan bupati yang semestinya disampaikan dalam paripurna. Tapi oleh Ketua DPRD dia menyerahkan tanggapan Bupati diluar paripurna.

Yang kedua, pembahasan komisi di dalam regulasi harus dilaporkan dan ada tanggapan balik pemerintah,  namun ini tidak disampaikan juga.

Makanya saya berani katakan saudara Daniel Taimenas tidak memahami mekanisme persidangan secara benar.

Jadi dia membela diri dengan menipu dalam wawancara,  dia menipu publik. Dan itu presenden buruk bagi seorang pimpinan dewan yang ada keterwakilan partai politik. Wawancara dia menipu publik.

Jadi itu yang jadi persoalan, karena mekanisme persidangan berjalan tidak sesuai aturan,  sehingga kami anggota DPRD mengindikasikan ketua DPRD ada bersandiwara, ada sesuatu yang disembunyikan.

Karena dokumen yang kami terima itu hari ini print, hari ini sidang. Nah ini dipaksakan ketua DPRD harus jalan. Makanya saya bilang Saudara Daniel Taimenas bertobat dan belajar jadi ketua persidangan yang benar. Kalau mau jadi ketua DPRD harus belajar mekanisme persidangan.

Kami indikasikan, Daniel Taimenas ini dia membuat putusan yang harbabiruk itu kita mengindikasikan ada permainan-permainan yang dilakukan. Dia ketok-ketok palu tidak boleh anggota bicara. Jadi Daniel Taimenas tidak paham mekanisme persidangan.

Jadi karena kami anggap persidangan tidak memenuhi mskanisme secara baik dan benar sesuai regulasi, maka kami berkesimpulan bahwa keputusan ketua DPRD cacat hukum dan persidangan itu sebenarnya tidak sah karena mekanisme persidangan tidak betul.

Tapi, Daniel Taimenas mengganggap semua proses persidangan sudah sesuai. Padahal dia sudah melanggar ketentuan perundang-undangan maupun ketentuan Tatib yang mengatur mekanisme persidangan.

Kami akan mempelajari  penganggaran dalam RAPBD dan akan sampaikan ke ketua keberatan-keberatan  yang ada. Sangat memalukan, kalau tidak mampu menjadi ketua DPRD maka undurkan diri saja.

Karena hasil persidangan kami anggap cacat hukum, maka kami akan meminta peninjaun kembali.” Tandas Anton geram.

Sedangkan anggota DPRD kabupaten Kupang Tome da Costa juga mengatakan bahwa semestinya  KUA/PPS setelah disepakati,  selanjutnya Banmus akan tentukan jadwal sidang yang nanti akan menyampaikan  tanggapan fraksi, dan kemudian dari tanggapan fraksi bupati akan menjelaskannya.

Dan atas tanggapan bupati, pimpinan dewan akan memberikan  waktu kepada  komisi untuk membahasnya.

Yang jadi soal adalah, setelah kita membahasnya, bupati tidak pernah memberikan tanggapan dan tahapan itu dilompati. Dan ketua beralasan semua  sudah sesuai mekanisme dan sesuai pp 12/2018?

Padahal dalam pp 12/2018 mengatur dengan jelas bahwa komisi harus membahas Ranperda dan menyetujuinya, baru diajukan ke badan anggaran.

Nah proses ini yang ketua tidak lalui, tapi lompat langsung ke badan anggaran dan ini yang dia lonpati semua.

Makanya saya sempat  bertanya waktu itu : apakah tatib DPRD  sudah dirubah atau belum?  Kalau belum,  maka seharusnya tidak boleh seperti ini. Karena ini semua ini,  tidak sah perda ini.

Kalau segala sesuatu kita bangun komunikasi yang baik, kenapa tidak beri kesempatan kita lalui bagian itu yakni tahapan yang sudah ditetapkan dalam Tatib. Inilah yang menurut saya, dalam proses persidangan kemarin tidak sesuai dengan Tatib dan PP 12/2018.

Jadi dengan fakta itu maka kami anggap penetapan perda tidak sah atau perda tidak sah karena ada beberapa tahapan yang tidak di indahkan yakni pembahasan komisi yang tidak peroleh tanggapan bupati dan salahi tatib serta PP 12/2018. Sehingga alasan-alasan yang disampaikan pimpinan kami anggap tidak rasio, pengesahan perda tidak sah.

Jadi yang akan kami lakukan adalah mengkaji ulang saja karena waktu masih sampai tanggal 30/11 pimpinan sudah ambil langkah begitu kita serahkan saja.

Kenapa mereka ambil langkah itu, sesuai dengan pp 12/2018 komisi tidak diberikan ruang untuk membahas itu.

Kenapa? Karena ada tugas dan fungsi yang saya sudah baca dan saya bilang pimpinan bisa tampilkan di layar supaya kita tahu semua, tapi ketua tidak bisa tampilkan.

Terhadap kondisi ini saya minta kepada anggota DPRD berpendapat bahwa karena berkaitan dengan lembaga DPRD, silahkan bependapat dan kami akan ambil langkah.

Sejak ketua dewan diganti dengan Daniel Taimenas ini kali kedua kondisi ini terjadi sejak pembahasan anggaran 2020/2021 dan sekarang di Pembahasan Anggran 2021/2022 dan sangat disayangkan.|| juli br