Syaiful Bahri Lubis, M.A. : “72 Bahasa Daerah dan geografis kepulauan di NTT, tantangan tersendiri program revitalisasi bahasa daerah”
NTT, TOP News NTT■■ Itulah ungkapan Syaiful Bahri Lubis, M.A. Kepala Kantor Bahasa NTT terhadap kondisi NTT dilihat dari aspek kekayaan Bahasa Daerahnya.
“NTT adalah provinsi unik dan menantang karena ada 72 bahasa daerah dan merupakan peringkat ketiga provinsi dengan kekayaan bahasa di Indonesia, (peringkat 1 Papua, peringkat 2 Papua Barat), serta kondisi geografis yang daerah kepulauan merupakan sebuah tantangan baru baginya untuk melakukan program revitalisasi atau memperkuat Bahasa Daerah sebagai bahasa kedua setelah bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.” Jelasnya pada moment wawancara Rabu,7/10 di ruang kerjanya.
Jika sebelumnya saat dirinya bertugas sebagai kepala Kantor Bahasa di provinsi Jambi hanya ada 4 bahasa daerah dari 8 bahasa yang dipakai disana, sehingga akan mudah baginya merevitalisasinya, maka di NTT akan menjadi hal yang cukup menantang karena memerlukan langkah pemetaan, karena ada 22 kabupaten kota dengan ragam dan keunikannya masing-masing dengan bahasa daerah berjumlah 72 .
“NTT itu unik dan menantang ya dari jumlah bahasa daerahnya saja ada 72 bahasa, namun ada yang sudah punah sama sekali dan ada yang diabang kepunahan, dan itu butuh pemetaan serius, artinya saya harus turun langsung ke daerah. Ditambah kondisi georafis wilayah kepulauan ini akan merupakan sebuah usaha yang menantang.” Ungkapnya.
Kalau di Jambi, ulas Syaiful hanya ada 8 bahasa yang digunakan.
“Dan saya akan mudah menjawabnya. Bahasa asli di Jambi hanya ada 4 yaitu Bahasa Kerinci, Melayu Jambi, Kubu dan Duano, 4 bahasa lainnya yang digunakan di Jambi adalah bahasa pendatang yaitu Jawa, Bugis, Minangkabau dan Banjar.” Jelasnya lagi.
Ada satu hal yang harus diperhatikkan oleh Kantor Bahasa NTT, yang beda dengan wilayah Jawa, Kalimantan dan Sulawesi di wilayah Timur Indonesia yaitu kekayaan bahasa daerahnya banyak. Apalagi di NTT sangat banyak, 72 bahasa daerah dan ada yang sudah punah.
“Sebagian besar bahasa daerah di NTT sudah punah, dan hampir punah. Karena penuturnya makin sedikit dan hanya kalangan berusia lanjut. Generasi muda sudah jarang bahkan tidak menggunakannya lagi sekarang.” Imbuhnya lagi.
Dengan kondisi seperti inilah, aku Syaiful, pemetaan dan revitalisasi Bahasa Daerah menjadi sebuah tugas penting bagi Kantor Bahasa NTT,
“Tujuan utamanya yaitu untuk mengangkat dan mengembalikan Bahasa Daerah pada posisinya sebagai bahasa sehari-hari disamping bahasa Indonesia dan bahasa asing . Seperti di Alor ada 2 bahasa daerah yaitu bahasa Sar dan Kaifat yang sudah hampir punah karena kini hanya dituturkan oleh belasan orang penutur yang sudah berusia lanjut. Kalangan muda sudah tidak mempergunakannya.” Tandasnya.
“Untuk merevitalisasi Bahasa Daerah, tugas pertama Kantor Bahasa NTT adalah lakukan pemetaan jumlah kata dalam bahasa daerah tersebut, lalu jumlah penutur dan kalangan mana saja yang masih menggunakannya hingga saat ini, dan kami akan coba wariskan kepada generasi muda apakah dengan jalan direvitalisasikan kembali atau di bugarkan agar digunakan kembali oleh kalangan muda. Itu tindakan melestarikannya. Tindakan awalnya kami akan mendokumentasikan dengan penataan struktur bahasa, pantulan bunyi, apa memungkinkan untuk dibuatkan kamus, dan mengusahakan untuk digunakan oleh anak-anak dengan memberi pengertian kepada orang tua untuk digunakan oleh anak-anak di rumah. Dalam lingkup besar di sekolah dalam bentuk pelajaran muatan lokal. Namun jika jumlah terbatas maka bisa dimulai dalam lingkup lebih besar oleh kelompok kecil masyarakat, dan kelompok muda.” Pungkasnya lugas.
Tugas pertama yang akan dilakukan Kantor Bahasa NTT adalah pemetaan dan revitalisasi 2 bahasa daerah di Alor (Sar dan Khalifat) karena kedua bahasa daerah ini yang sudah tergolong hampir punah dan butuh di revitalisasi karena jumlah penuturnya makin kecil.
Pengaruh makin punah adalah karena makin sedikit jumlah penuturnya (kalangan berusia sangat lanjut) karena akibat perkembangan bahasa sehingga otomatis pengguna makin sedikit.
“Punahnya sebuah bahasa daerah di suatu wilayah bisa disebabkan karena makin banyaknya pendatang dari luar, maka akan untuk memudahkan komunikasi mereka menggunakan bahasa yang paling sering digunakan dalam ruang lingkup hidup, sehingga penggunaannya makin jarang atau hampir punah.” Ungkap Syaiful memberi alasan.
Perkembangan sebuah bahasa daerah, jelas Syaiful lagi, tergantung perkembangan bahasa yang digunakan di lingkup kehidupan sebuah wilayah.
“Karena itu dibutuhkan tindakan pemetaan dan revitalisasi kembali Bahasa Daerah demi memperkuat bahasa daerah itu sendiri sehingga dipakai lagi.” Ujarnya.
Alasan revitalisasi lain juga dikarenakan setiap bahasa daerah memiliki kekayaan tersendiri yang mengandung berbagai nilai tentang keberadaan satu suku bangsa yang menjadi histori sebuah bangsa.
“Selain itu, bahasa daerah adalah kekayaan budaya sebuah wilayah, itu aset. Dan aset yang beragam sebuah suku bangsa yang tercermin dari bahasa daerah akan hilang semua nilainya bersamaan dengan hilangnya sebuah suku dan peradaban, jika bahasa daerah tidak digunakan lagi. Dalam sebuah bahasa selalu ada legenda, sejarah dan budaya suku bangsa, yang membentuk sejarah dan budaya bangsa Indonesia sendiri. Karena legenda dan sejarah sebuah suku dan bangsa dibutuhkan bahasa daerah dalam pengungkapannya.” Jelasnya.
Di NTT ada 72 bahasa dan pemetaan baru dimulai dalam TA 2019/2021 yang bekerja sama dengan SIL (Standar Institut Linguistik), sebuah lembaga Luar Negeri yang khusus konsern mengumpulkan dan merevitalisasi bahasa daerah di seluruh dunia.
“Kantor Bahasa juga melakukan pemetaan dan penguatan bermitra dengan LIS dan akademisi seperti Undana dan LSM, lembaga atau organisasi masyarakat, kelompok pemuda yang punya kepedulian terhadap pelestarian bahasa daerah di NTT.” Ungkapnya lagi.
“Saya bisa mengambil data primer hasil pemetaan yang ada di Kantor Bahasa NTT, ada juga dari peneliti akademisi, peneliti mandiri seperti SIL dan lain-lain. Penelitian memang harusnya dari kantor bahasa NTT sendiri.
“Peringat pertama adalah Papua, kedua Papua Barat, dan NTT peringkat ketiga provinsi dengan Bahasa Daerah terbanyak (72 bahasa daerah), ini dapat menjadi aset pariwisata untuk NTT yang harus dijaga dan dilestarikan.” Ujarnya.
Bahasa daerah, menurut Syaiful selalu erat kaitannya dengan kandungan seni, moral, etika, sejarah dan budaya yang khas di NTT yang tidak dimiliki oleh wilayah lain.
Seperti Hukum Adat yang masih kuat dan melekat dalam masyarakat NTT hanya lewat penuturan bahasa daerah.
“Hukum adat yang abstrak, tapi bisa muncul akibatnya jika dilanggar, hanya bisa memiliki kekuatan jika dituturkan lewat bahasa daerah. Dan terbutki bahwa sanksi adat akan membuat orang takut melakukan pelanggaran, apalagi sanksi hukum di negara ini sudah tidak mempan dan dilanggar sehingga sanksi adatlah yang akan lebih dipercaya.” Ulasnya pentingnya bahasa daerah.
Program reguler Kantor Bahasa NTT disisa 3 bulan di tahun 2020 sesuai renstra (rencana kerja startegis) yaitu pemetaan dalam upaya revitalisasi.
“Nanti di 2021 akan ada program prioritas menyelamatkan atau merevitalisasi bahasa daerah yang hampir punah dan sosialisasi dan pelatihan memperkuat kemampuan literasi kepada masyarakat bersama pemprov dan pemkab kota di NTT.” Jelasnya.
Selama ini, jelas Syaiful di NTT sudah ada pegiat literasi yang secara pribadi dan kelompok dengan kemampuan sendiri bergerak dan memeprkuat litersasi dengan membuat taman baca di desa dan kelurahan.
“Jadi ada anak muda dengan keinginan mereka dan terjun sendiri menggiatkan bahasa daerah. Dan mereka ini yang akan kami dukung lewat program penguatan literasi.” Imbuhnya.
“Walau ada tantangannya, sebagai kepala kantor Bahasa NTT saya berkomitmen akan melakukan yang terbaik yang bisa saya lakukan bagi revitalisasi Bahasa Daerah san pengiatan Bahasa Indonesia di ber bagai kalangan. Apapun itu dalam memetakan, merevitalisasi dan mengembalikan bahasa daerah di NTT sebagai bahasa sehari-hari, serta penguatan litersasi lewat sosialisasi dan pelatihan.” Tandasnya di akhir wawancara.■■ juli br