Piawai Merangkai Kalimat, Terjebak Dusta Terangkai

(Berikut ini narasi prosa yang dilansir dari https//:expontt.com)

penulis : sang musafir

Di sebuah negeri antah berantah hiduplah seorang atilit silat. Ia sangat piawai dalam olahraga ini. Namun tidak seluruh tubuhnya di olah dengan baik, hanya sebagian saja bagian tubuhnya yang di latih secara khusus. Bagian tubuh itu adalah lidah. Jadilah ia seorang atilit silat lidah.

Nama atlit itu adalah, Ada-ada saja, biasa di panggil Asa.

Menyanjung orang adalah pekerjaan baru si Asa atau si Ada-ada saja. Dulu ia adalah seorang yang peduli sekali dengan kehidupan orang-orang kecil, orang yang akrab dengan kesulitan hidup. Sasaran pedulinya adalah kebijakan pemimpin di negeri itu. Dulu Ia mendalilkakan kesusahan rakyat adalah karena kesalahan pemimpin negeri itu dalam mengelola pemerintahannya. 

Dengan kemampuannya sebagai seorang atlit silat lidah, si Asa sangat kritis melontarkan kritik yang tajam kepada para pemimpin di negeri anta berantah saat itu. Ia masuk dalam atlit pilih tanding yang cukup diperhitungkan oleah pemerintah di negeri itu.

Namun suatau waktu rejim pemerintah di negeri itu berubah, termasuk idealisme sang Atlit silat lidah juga ikut berubah. Dari sebelumnya pengkritik, kini menjadi penyanjung. Siapa saja di sanjung asal ada cuan.

Cuan akan selalu menjadi pemicu bakat silad lidah si Asa keluar. Ia menjadi oportunis yakni mencari kepentingan pribadi atau diri sendiri dengan menggunakan tipu daya.
Tipu muslihatnya adalah kepintaran merangkai kata menjadi kalimat agar tampak hebat nan cerdas. Sambil menyembunyikan fakta cerdas lain yang bertentangan dengan untaian manisnya kalimat demi membela junjungannya.

Menyanjung orang adalah pekerjaan barunya kini. Menyanjung junjungan yang bisa memberinya cuan. bahkan kadang menyanjung berlebihan prestasi junjungannya. Kuat duga maksudnya untuk kuras harta sang junjungan. Junjungan kaya takan susah membayar asal ada kabar tentang hebatnya junjungan di media . Tampak halal, padahal ini adalah cara  kuras harta tanpa yang dijunjung sadar. Atau kalau sadar, sengaja dibiarkan sang junjungan, karena itu belum seberapa di bandingkan dengan tumpukan harta yang masih di miliki.

Si Asa, sang atlit silat lidah mencari kepentingan pribadi atau diri sendiri dengan menggunakan tipu daya (tipu muslihat).
Yang berlebihan adalah, sanjungannya tak beralas fakta tentang prestasi sang jjunjunga. Ada sanjungan  ada dana. Ini cara mengais rejeki berasetkan permainan  kata dan kalimat yang di rangkai untuk merantai harta.
Itulah dusta. Kata di rangkai, maka harta ter rantai.

Rakyat negeri itu paham sebenarnya, sang Atlit silat lidah ini gemar merangkai kata untuk merantai harta kekayaan. Tak tampak prestasi sang atlit ini. Berhartakan kemampuan merangkai kata adalah bakatnya.
Ini bukan sangka tetapi fakta bahwa bakatnya hanyalah merangkai kata  tapi tidak selaras  fakta sikap.

Tampaknya ada buyer & seller relationship atau hubungan kemitraan, hubungan antara penjual dan pembeli. Sang atlit menjual kepiawaiannnya bersilat lidah, lalu sang junjungan membeli kata-kata itu untuk di jual lagi di media masa, demi pencitraan.  Bahkan sang atlit melebih-lebihkan, merubah informasi tentang sang junjungan, lagi-lagi tujuannya adalah cuan bagi si atlit. Yah cuan membuat sanga atlit  curang.

Tampak hebat dan mantap dalam untaian kata, namun sedang gagal dalam keluarga, gagal dalam merangkai persahabatan yang sahaja.
Pandai merangkai kata tetapi gagal merangkai akhlak keluarga.

Berhartakan kemampuan merangkai kata adalah bakatnya. Itulah sebahagian riwayat sahabat yang cakap berkata namun  tak cakap merangkai sahajanya persahabatan.
Kemurnian nurani yang dulu ada, kini dikotori oleh dusta.

Nah, siapa yang dusta siapa yang jujur ?.