Mengenal Lebih Dekat Guru Besar Undana, Prof.Dr.Ir.Marcalien Djublina Ratoe Oedjoe,M.Si dan Komitmennya Membangun Undana

Figur Perguruan tinggi Profil Regional

NTT, TOPNewsNTT||Media ini berkesempatan emas berbincang dengan seorang Guru Besar Undana, Prof.Dr.Ir.Marcalien Djublina Ratoe Oedjoe,M.Si  yang baru dikukuhkan pada Rabu, 31 Mei 2023 lalu bersama 3 orang Guru Besar lainnya oleh Rektor Undana Prof. Dr. drh. Maxs Urias E. Sanam, M.Sc.

Kehadiran 4 Guru Besar Undana ini menambah jumlah Guru Besar di Undana menjadi sekitar 46 Guru Besar.

Prof.Dr.Marcalien Djublina Ratoe Oesjoe,M.Si bersama keluarga tercinta

Di rumahnya yang asri dan teduh, bunda Marcelien (mama Lien-sapaannya akrabnya) dengan santai mengisahkan siapa jati dirinya, dan baru kepada media ini, isteri dari Daud Talo seorang dosen senior FH asal Sawu ini, mempunyai satu putera: Voltaire Talo, SPsi dan dua puteri : dr.Violet Talo dan Vivere Talo,SS, MA. Guru besar Undana ke 43 ini, lahir di Ende-Flores, 22 Januari 1958 ini membagikan profil dirinya.

Dalam perbincangan kami akhirnya terungkap sebuah fakta yang membuat pantas media ini ingin menulis profil beliau, karena puteri mantan Wadanders (Wakapolres-red) Ende Flores, Samuel Ratoe Oedjoe (alm) ini, mempunyai Nilai KUM tertinggi yakni 1.050,8 point saat lulus sebagai Guru Besar berdasarkan keputusan Kemendikti RI pada 1 Desember 2022. Ini prestasi luar biasa bagi dosen Jurusan Ilmu Budidaya Perairan, Fakultas Peternakan Kelautan dan Perikanan Undana yang sudah mengabdi selama 36 Tahun hingga saat ini.

Bunda Lien lantas mengisahkan, latar belakang kehidupan keluarga besar Ratoe Oedjoe, dimana beliau lahir, tumbuh dan dibesarkan serta prinsip ayahanda tercinta terhadap pendidikan sebagai yang utama bagi 15 bersaudara ini.

“Saya dalam keluarga kita adalah keluarga besar ya, 15 orang bersaudara. Dan saya anak yang ketujuh (7). Kakak pertama, kedua dan ketiga mereka tinggal di Jawa. Dan kita semua diberbagai kabupaten di NTT. Sedangkan saya lahir dan besar di Ende. Lulus SMAK Suryadikara Ende baru saya ke Jawa kuliah di Universitas Brawijaya Malang. Saya bersama kakak-kakak juga sering berpindah tempat tinggal sesuai tempat tugasnya bapak. Karena bapak seorang polisi jadi selalu pindah-pindah gitu ya.” Kisahnya sambil tersenyum mengenang keluarga besarnya.

Diakuinya prinsip dan komitmen kuat ke dua orang tua tercintanyalah, yang menghentar mereka 13 anak bisa menempuh pendidikan yang tinggi.

“Kami memang 15 orang, tapi yang nomor 8 meninggal umur 2 tahun dan bungsu meninggal umur 2 minggu, sisanya kami 13 orang yang masih hidup. Lalu menyusul 5 orang saudara kami meninggal setelah dewasa. Jadi saat ini kami tersisa 8 orang. Tapi di masa kecil kami 13 orang semuanya, bayangkan dengan gaji seorang Polisi saat itu kami diharuskan mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Itulah yang memacu kami semua 13 orang memiliki pendidikan tinggi. Bapak sendirian menjadi tulang punggung dan mama hanya ibu rumah tangga mengurus kami anak-anak. Tapi bapak tuh memang orang ya dia juga mungkin dari Sabu dia lihat bagaimana kondisi di Sawu gitu, di mana kebanyakan orang Sawu hidup menggarap tanah, menyadap nira (atta due), sehingga bapak merantau, dengan prinsip bahwa dengan ilmu pengetahuan, gelar yang didapat dari dunia pendidikanlah yang akan menghantarkan orang menjadi sukses. Makanya bapak inginkan kami semua harus sekolah yang benar dan kuliah. Bapak keras soal itu, tapi kalau ada diantara kami yang tidak mau kuliah, ya salah sendiri jika ke depannya tidak sukses. Intinya bapak punya prinsip anak-anak harus berpendidikan tinggi sehingga memiliki pekerjaan baik. Untuk mewujudkan prinsipnya terhadap kami, selain sebagai seorang polisi, pulang kantor di rumah bapak menjadi petani. Di rumah kami yang halamannya besar ditanaminya dengan segala macam tanaman pangan, juga melihara babi, ayam, sapi. Dan kita semua wajib  membantunya karena hasilnya selain untuk pangan kebutuhan sehari-hari tapi juga menghasilkan uang untuk biaya kuliah kami semua. Jadi biaya sekolah dan kuliah kami itu dari hasil kebun dan hewan yang bapak pelihara. Sehingga untuk makan minum tidak pernah kekurangan. Kami semua sekolah di SD GMIT, SMP Katolik Ndao Putri, SMP Katolik Ndao Putra, SMA K Syuradikara, SPG Katolik Ursula, dan semua itu adalah sekolah suwasta yang artinya biayanya lumayan besar. Kakak  pertama tahun 1961 kuliah di Bandung di rumah sakit St. Boromeus, disusul kakak yang nomor 2, ke-3 dan seterusnya. Kita semua tuh dulu kan sekolah di SMA Katholik Suryadikara Ende, sedangkan saya waktu di SMPK Putri Ndao yang siswanya semua perempuan. Terus lanjut ke SMA Suryadikara kemudian lanjut kuliah di Universitas Brawijaya Malang.” Tutur perempuan Sabu Raijua asli yang masih nampak cantik dan energik di usi 62 tahun ini bangga.

Untuk memenuhi biaya sekolah dan kuliah kami, Bunda Lien memuji upaya Bapaknya yang selain bertani, beternak dan juga setelah pensiun menjadi pedagang berbagai jenis barang, sampai emas.

Di rumah di Ende, orangtuanya punya kios sembako dan kos-kosan bernama “wini rai” yang hingga kini masih berjalan walau kedua orangtua sudah meninggal dan anak-anak sudah tinggal di Kupang dan Jawa dan dikelola oleh adik Bernad Keranz sudah seperti saudara kami.

“Tahun 1985 saya berhasil diwisuda di Brawijaya dengan gelar Insinyur.  Dan sebenarnya saya tahun 1986 ke Jakarta ingin bekerja dan waktu itu akan melamar ke Departemen Pertanian Jakarta (sekarang Kementerian Pertanian-red), tapi bapak tidak setuju dan saya dijemput pulang ke Ende.” Kisahnya bersemangat mengenang masa lalunya.

Pada tahun 1986, saya ke Kupang untuk bekerja  dan melamar sebagai dosen di Undana pada FNGT  (Fakultas Non Gelar)  Jurusan Penyuluhan Pertanian Terpadu (P2T) untuk Ilmu Pertanian (mahasiswanya ya nantinya akan menjadi penyuluh pertanian). 

“Jadi pada 1986 itu saya memulai karir sebagai dosen di Undana pada Fakultas Non Gelar. Pada tahun 1995 karena aturan tidak boleh Fakultas Non Gelar berdiri sendiri tapi harus gabung ke Fakultas Peternakan. Waktu itu saya belum S2  dan saya pergi ambil S2 di IPB Bogor pada 1998 dan lulus S2 2021. Kembali mengajar di Undana dan pada tahun 2009 kembali ambil S3 di Brawijaya.  Setelah pulang dari S3 jadi wakil dekan bidang kemahasiswaan di Fakultas Kelautan dan Perikanan (FKP) dari 2013-2017. Pada 2017-2021 terpilih menjadi Dekan FKP. Setelah 2021, disuruh lagi gabung ke Fakuktas Peternakan padahal sempat kami memilih dekan waktu itu. Dan Dekan FKP terpilih  Pak Dr. Franchy Ch Liufeto, S.Pi,M.Si hanya menjabat 5 bulan saja karena Merger lagi pada  awal 2022.

Pada bulan Agustus 2021 Bunda Lien mengajukan Daftar Usul Penetapan Angka Kredit (DUPAK) untuk Guru Besar walau 3 kali ditolak, mama Lien sudah mengajukan lamaran untuk menjadi guru besar, dan ia terus saja memperbaiki seperti menulis artikel internasional untuk menambah angka kreditnya bagi guru besar yang di minta oleh tim Reviewer Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, sehingga pada 1 Desember 2022 usulan DUPAK Guru Besar di tetapkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi karena telah memenuhi persyaratan Khusus yaitu berupa Jurnal Internasional bereputasi (Q2 dan Q3) dengan ruangan golongan sebelum penetapan guru besarnya sudah IV C. Selanjutnya untuk mencapai Guru Besar Angka Kredit harus mencapai 850 KUM ( IV D), sedangkan saya waktu itu sudah golongan IVC (Lektor Kepala) dengan angka kredit 700, 8 KUM, jika mencapai ke Guru Besar harusnya saya hanya menambah 150 KUM, tetapi harus terwakili  unsur Tri Dharma Perguruan Tinggi dan Penunjang, di mana untuk unsur pendidikan dan pengajaran 35 %, unsur penelitian 45 % , Unsur pengabdian kepada masyarakat 10 % dan unsur penunjang 5 %. Unsur Penelitian 45 % harus /wajib jurnal bereputasi (Scopus) yaitu : Q1, Q2 & Q3. Scopus adalah data base jurnal ilmiah yang dikelola oleh perusahaan informasi ilmiah Elsevier. Scopus mengindeks lebih dari 24.000 jurnal ilmiah, konferensi, dan seri buku dari lebih dari 5.000 publisher di seluruh dunia.

“Mengapa saya berpikir menjadi Guru Besar, karena di tingkat perguruan tinggi golongan 4C itu sudah pangkat terakhir, tidak bisa naik lagi sampai pensiun. Kalau kita tidak urus jadi Guru Besar maka kita akan pensiun dengan golongan 4C itu. Sebagai Guru Besar harus melaksanakan Tridharma PT yaitu Pendidikan, Penelitian dan  Pengabdian Kepada Masyarakat dan Penunjang. Sebagai Guru Besar kita harus melaksanakan Tridarma itu dengan benar, tidak boleh tidak. Persyaratan menjadi Guru Besar itu terlalu mahal dan berat untuk sekarang, waktu zaman dulu mungkin tidak seberat sekarang  karena mungkin perubahan teknologi segala macam kebutuhan ilmu pengetahuan IPTEK itu jadi tidak bisa kita samakan dengan jaman dulu. Syarat nilai KUM harus 850 point.” Jelas mama Lien.

Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, dijelaskan bahwa Guru Besar adalah jabatan fungsional tertinggi bagi dosen yang masih mengajar di lingkungan satuan pendidikan tinggi.

Jabatan fungsional ini hanya bisa dipangku atau dimiliki oleh seorang dosen yang sudah memenuhi sejumlah persyaratan sesuai ketentuan perundang-undangan. Bagi dosen yang berhasil meraih jabatan fungsional Guru Besar maka akan diberi gelar Profesor. 

Syarat untuk bisa berada di posisi jabatan fungsional ini diketahui tidak mudah. Misalnya dari masa mengabdi sebagai dosen yang minimal 10 tahun, baik untuk kenaikan jabatan fungsional secara reguler maupun loncat jabatan. 

Selain itu, untuk menjadi Guru Besar juga perlu memenuhi syarat kualifikasi akademik, yaitu harus bergelar doktor atau lulusan S3. Baik dari PT dalam negeri maupun luar negeri. Kabarnya, syarat tersulit adalah dari publikasi ilmiah, yakni jurnal internasional terindeks Scopus atau WoS. 

Jika naik jabatan fungsional secara reguler, maka dosen wajib memiliki 1 publikasi ke jurnal internasional bereputasi. Sementara jika lewat loncat jabatan, maka minimal 4 publikasi ke jurnal internasional bereputasi sebagai penulis pertama. 

“Jadi syarat menjadi Guru Besar pertama menjadi dosen aktif bergelar S3 minimal 10 tahun, memiliki KUM minimal 850 point, KUM saya 700,80 ditambah dengan mampu menulis Jurnal dan Buku dan modul yang sudah sesuai ISBN dan anggota IKAPI, laporan penelitian yang berupa buku yang ber ISBN dan lewat lembaga IKAPI (sebagai anggota). Buku juga harus buku referensi merupakan hasil penelitian dan saya masuk lewat penerbit anggota IKAPI Jogya berjudul “Teknik Pembibitan Rumput Laut.” Menulis Jurnalpun harus Jurnal bereputasi yang ada Q3, Q2, Q1 yang sudah dipublish secara internasional. Dan 3 jurnal termasuk dalam jurnal bereputasi (Q2 dan Q3) sebagai author dengan nilai 40 KUM saya paling tinggi diantara semua profesor 1.050,8 point dan saya naik ke golongan IVe, itu menurut penilaian dari Kemendikti RI. Semua syarat kita kirim lewat website “SelancarPAK” secara online. Dan ini adalah usaha dari unsur Tri Dharma.” Ungkapnya bersemangat.

Mama Lien menambahkan bahwa profesi dosen bukanlah cita-citanya sejak muda, awalnya ia inginnya bekerja di Dinas Perikanan dan Kelautan, bahkan pernah ia ditawari menjadi staf pada Dinas Perikanan Kabupaten Kupang yang hampir saja membuatnya ingin resign sebagai dosen.  Tetapi lantaran tidak disetujui oleh suamnya Bunda Lien menolak tawaran tersebut dan tetap menjadi dosen, “Akhirnya saya memilih tetap menjadi dosen setelah mempertimbangkan dengan menjadi dosen saya akan memiliki banyak waktu dan kesempatan bagi anak-anak atau keluarga di rumah.” Jelasnya.

Mama Lien menambahkan bahwa karena garis tanganlah yang telah membawanya ke Undana untuk mentransfer ilmunya ke mahasiswa yang seiring perjalanan waktu mulailah merasakan kecintaannya sebagai dosen saat anak didik lulus dengan IPK bagus, diserap di dunia kerja  ataupun membangun usaha sendiri. 

“Saya mulai mencintai profesi dosen setelah melihat anak didik kami lulus dan diwisuda dan dapat bekerja di dunia kerja atau membangun usaha sendiri. Di situlah kepuasan batin kita sebagai dosen, sehingga makin hari saya makin mencintai profesi saya dan Undana yang sudah membesarkan saya.” Ungkap Bunda Lien terharu.

Diakhir bincang-bincang, Bunda Lien akui dengan jujur bahwa Undana yang sudah berusia tua seharusnya makin dilengkapi dengan sarana prasarana yang memadai agar makin maju. 

Semoga pemimpin Undana bisa melakukan pola pendekatan ke Kementerian agar peroleh dana-dana yang mampu menunjang kebutuhan Institusi PTN UNDANA tercinta ini.

“Kita masih butuh laboratorium pakan, laboratorium rekayasa, laboratorium lapangan, laboraturium Komputer, Perpustakaan serta didukungan dengan tenaga laboran,  pustakawan yang berkompeten serta didukung dengan peralatan dan koleksi buku yang memenuhi kebutuhan mahasiswa dan dosen sehingga secara universitas mampu mencapai akreditasi A. Selama ini hanya Fakultas Peternakan yang mencapai Akreditasi A. Untuk saat ini Universitas Nusa Cenada masih akreditasi B. Semua sarana tersebut untuk meningkatkan kualitas akademis dosen , mahasiswa maupun tenaga kependidikan.” Cetusnya.

“Ya itulah kekurangan kami di Undana saat ini,  semoga dalam kepemimpinan ke depan dapat melakukan terobosan sehingga kampus ini peroleh dana-dana Kementerian untuk menambah sarana penunjang. Saat ini penghasilan Undana hanya berasal dari UKT Mahasiswa, tapi hampir 50% mahasiswa adalah penerima beasiswa KIP dan berbagai beasiswa. Di Undana masih ada UKT mulai Rp 500.000 – Rp 2.000.000 biasanya dimasukan kedalam beasiswa KIP. UKT di Undana dari tiap fakultas berbeda-beda, Fakultas Petanian, FPKP UTK tertinggi 2,5 – 3 jt sebagai dana  PNBP Undana. Sedangkan untuk menjalankan semua aktivitas di PTN ini hanya mengandalkan UKT saja. Belum lagi kebijakan Covid kemarin. Undana PTN paling besar mendapat Bidik Misi atau KIP sekarang, serta UKT paling rendah di seluruh PTN Indonesia. Kita butuh kolaborasi pemda dan stakeholder, terutama Kementerian dan swasta. Kita juga butuh dana penelitian jika kita ingin jalankan Tri Dharma PT karena semua butuh anggaran. Minimal sebuah penelitian butuh Rp 50 juta keatas. Selama ini kita menulis atikel, buku biayai sendiri. Tapi syukur sekarang pada semua  Fakultasnya ada biaya penelitian dan pengabdian walau pas-pasan, maka ia berharap ada kolaborasi Pemda NTT, LSM/NGO. Apalagi kemarin pak Gubernur NTT meminta kita terus lakukan penelitian, butuh dana dan tidak bisa Undana sendiri harus kolaborasi berbagai pihak.” Tegasnya.

Ia berkomitmen setelah menjadi Guru Besar ia akan membangun Universitas Negeri ini agar makin maju sebagai kontribusinya yang sudah dibesarkan oleh Undana. 

Namun ia meminta Kemendikti RI jangan memuat standar penilaian seperti di Pulau Jawa. Karena Undana berada di NTT yang merupakan provinsi dengan wilayah kepulauan (Archipelago) dan Provinsi 3T, otomatis secara keuangan, intelektual dan sarana prasarana kalah jauh dengan di wilayah luar NTT terutama Jawa. Otomatis tidak bisa dinilai dengan standar kota metropolitan. Tim acesor akreditasi BAN PT jangan semua dari PT di Jawa, mana bisa sama penilaiannya. Kita akan selamanya berada di akreditasi B jika standar penilaian sama seperti Universitas di luar NTT. Apalagi Undana merupakan BLU yang setengah dana internal setengahnya subsidi artinya kita belum mampu membiayai lembaga secara mandiri karena kondisi tersebut diatas tapi kita dituntut sama seperti UI, IPB, UB, ITB, Unair, Unpad, Undip. Input mahasiswa yang didapat Undana tidak sama dengan input yang didapati oleh PTN di Jawa sedangkan Undana sejak tahun 2018 menjadi PTN BLU.

Ia berharap kuota anggaran pendukung bagi Undana dari Kementerian harus direvisi ulang tidak bisa disamakan dengan daerah kontinental. Undana masih butuh uluran tangan Kemendikti agar mampu memenuhi standar penilaian Kemendikti.

Ia juga tetap berharap Jurusan kelautan dan perikanan (hasil merger) dapat dikembalikan menjadi sebuah Fakultas agar bisa berkembang lebih baik. 

“Kita punya laut yang luas 200.000 Km2 dengan potensi yang kaya akan sumberhayati dan berkualitas. Mengapa kita Undana sebagai satu-satunya Universitas Negeri di NTT tidak punya fakultas Kelautan dan Perikan? kita tidak perlu buat terobosan pengelolaan yang muluk-muluk, rumput laut potensinya besar, biayanya murah karena pada saat pemeliharan rumput laut tidak membutuh air tawar, pupuk, pestisida untuk bertumbuhan. Laut kita cocok untuk menanam rumput laut.  Sehingga  ke depan kita bisa menambah jurusan Teknologi Pengolahan Hasil selain 2 program studi yang sudah ada yakni Budidaya Peraiaran dan Manajemen Sumberdaya Perairan. Kita bisa buat pabrik pengolahan sehingga dijual ke luar sudah dalam bentuk olahan rumput laut seperti produk bahan setengah jadi (ATC) dan tepung karaginan, agar-agar, alginat dan produk olahan lainnya. Jika kita punya rumah sendiri kita bisa peroleh dana dan lengkapi sarpras sendiri dan terobosan untuk mencapai target. Kita bisa serius dan pasti akan banyak peminat yang mendaftar. Kita punya 10 kabupaten yang potensial untuk pengembangan rumput laut yakni Sawu, Rote, Kabupaten Kupang (Semau dan Sulamu), Lembata (Flores Timur), Maumere, Ende dan Sumba Timur. Sekarang ini NTT baru mempunyai pabrik pengolahan rumput laut PT ASTIL di Sumba Timur berupa bahan setengah jadi (ATC). Saya berharap kita punya pabrik pengolahan di kabupaten potensial. Kita punya Kementerian Kelautan dan Perikanan, mengapa di Undana kita tidak punya Fakultas sendiri khusus untuk Kelautan dan Perikanan. ” Harapnya.

“Untuk menyambut usulan pak Gubernur agar kita buat penelitian, pemda kasih kita apa yang harus diteliti yang sesuai program kerja pemda dan beri kita anggaran penelitian sebagai bentuk kolaborasi Undana dengan Pemda. Kita akan lakukan penelitian dengan serius dan terus menerus. Karena penitian itu biayanya besar karena waktunya tidak singkat dan harus valid.” Ujarnya akhiri bincang-bincang sore.|| jbr.