Oleh : DR Lery Lupidara
Kini ketika Pandemi Covid bergerak membentuk trend to endemi, seharusnya refleksi kita tertuju pada pandemi sebagai fenomena alam dan fakta dari eksistensi makrokosmos dalam relasinya dengan faktorfaktor penentu. Maksudnya ialah bahwa virus yang berawal dari Wuhan berevolusi dan bermutasi menjadi varian baru, Delta yang lebih menyeramkan ketimbang induknya itu dilihat sebagai proses alamiah/hukum evolusi Darwin dimana setiap makhluk hidup berusaha
mempertahankan eksistensinya, berkompetisi
dan bertarung menyisakan yang kuat, bertahan dan adaptif, survival ofthe fittest.
Kita sudah menunjukkan bahwa kita dapat bertahan dan adaptif memenangkan virus tersebut dan kembali bertumbuh dan berkembang dalam macam aspek kehidupan.
Selain Pandemi Covid 19 adalah soal-soal berkelas dunia lainnya seperti global warning karena gas rumah kaca dan penjelasannya
seperti penggunaan bahan bakar kendaraan dan industri, batu bara, life style, sampai isu krisis enerji yang melanda negara pengekspor,
pengimpor sekaligus penyumbang emisi gas buang dunia (Joko Santoso, Kompas 27/10/2021).
Selain isu Pandemi Covid 19 yang sampai dengan merekomendasikan one planet one health, juga isu penurunan gas rumah kaca berikut macam ekspresi baik akademik
maupun empiriknya termasuk yang saya baca dari David Wallace-Well deputi editor Majalah New York terbitan tahun 2020 yaitu Bumi Yang
Tak Dapat Dihuni.
Di negeri kita sendiri hari ini Daniel Murdiyarso Profesor IPB anggota AIPI misalnya kembali menganggkat isu Konferensi Perubahan Iklim di Glasgow Skotlandia akhir bulan ini yang meminta dan seharusnya memeroleh komitmen dari the parties dan
tentu saja senjang diantara komitmen dan realitas itu akan menentukan hal-hal selanjutnya (ref pen) untuk menurunkan emisi gas rumah kaca.
Pada tahun 2030 nanti, penandatangan Persetujuan Paris diperhadapkan capaian implementasinya terutama terkait ukuran panas 1,5 atau 2 derajat celcius.
Komitmen pngendalian dan penurunan emisi bukan faktor tunggal, berkorelasi atau sebut saja berkelindan dengan yang lain, ekonomi dan keuangan misalnya. Indonesia, sebelum Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) karena Pandemi Covid 19 bergiat keras memacu pertumbuhan ekonomi dan di sini, tingginya penggunaan bahan bakar fosil khususnya batubara misalnya mejadi determinan ekonomi sekaligus menjadi enviromentalism isues/problems. Keduanya tentu harus diatur seseimbang mungkin diantara peluang dan tantangan.
Hari ini di Indonesia termasuk di Provinsi NTT telah diterapkan suatu kebijakan bernama Program Langit Biru (PLB) yang berkenaan
dengan Bahan Bakar Minyak (BBM). PLB adalah program untuk mengendalikan pencemaran udara terutama yang bersumber dari
kendaraan dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas udara bersih dengan mengurangi emisi gas buang (EGB) melalui edukasi dan persuasi masyarakat untuk merasakan pengalaman manfaat dari menggunakan BBM berkualitas semacam pertalite dan pertamax.
Sebetulnya program ini sudah diluncurkan di era 1996 melalui Keputusan Meneg LH Nomor 15 Tahun 1996. Hari ini diluncurkan lagi
termasuk di Provinsi NTT. PLB terkait dengan usaha mengurangi dampak emisi gas buang kendaraan akibat menggunakan bahan bakar
dengan RON rendah yang memiliki kandungan sulfur tinggi, dan tidak sesuai dengan spesifikasi mesin kendaraan modern. Sekitar 75 persen sumber polusi udara di kota besar di Indonesia berasal dari emisi gas buang kendaraan bisa dibayangkan jika BBM yang digunakan bukanlah BBM yang ramah lingkungan. Melalui PLB masyarakat didorong
menggunakan pertalite dengan angka RON 90 yang sesuai dengan spesifikasi mesin moder ketimbang premium dengan angka RON 88
dengan kandungan sulfur yang tinggi.
Sejak dilaksanakan, masyarakat menyambut baik PLB dan konsumsi BBM berkualitas terus meningkat.
Jika melihat porsi konsumsi jenis gasoline/bensin secara nasional, pada
Januari 2020 porsi konsumsi pertalite masih diangka 58 persen dan premiur 29 persen. Per 23 Mei 2021 secara nasional pertalite menjadi
primadona masyarakat Indonesia dengan porsi konsumsi nasional sebesar 70,3 persen, premium tinggal 12,6 persen bahkan lebih rendah dari pertamax.
Bervariasinya pandangan atas urgensi dari macam isu di sekitar kita dalam arti luas termasuk isu-isu global adalah suatu fakta yang
mungkin saja akan semakin meluas seiring dengan kebebasan dan keunikan masyarakat manusia tetapi semua itu harus bermuara pada
bangsa yang survival tersebut dengan kata lain kita harus tetap tangguh dan tumbuh.
Manusia memang memiliki pengaruh “mengatasi dan mengendalikan” tetapi fasilitas ini bukanlah sesuatu yang bersifat automatically tetapi depend to khususnya pada faktor willing and capacity artinya sepanjang kita mau dan mampu mengelola kemauan
tersebut. Kalau ditanya tidak sedikit kalau bukan semua akan memilih berpihak pada Konvensi Perubahan Iklim dengan target net zero emission tahun 2050 karena semua kita membayangkan suatu keberlangsungan dan bukannya suatu keberhentian atau kematian.
Tahun 2050, sesungguhnya bukanlah timebound yang panjang dan lama, mungkin hanya seumur apa yang kita di Indonesia biasa sebut
RPJP Rencana Pembangunan Jangka Panjang.
Komplikated karena kita butuh enerji, kita butuh ekspansi peluang dan lapangan kerja,
pendapatan dan pembelanjaan untuk penuhi kesejahteraan yang tiada lain sumber pendukungnya adalah sumber-sumber yang ada pada kita kita manusia dan alam dan tentu saja berkat dan pengasihan Tuhan Yang Maha Esa.
Pro kontra seputar kebijakan PLB itu wajar tetapi itu harus dilihat sebagai suatu cara dan bukannya sebagai tujuan dalam kerangka
relasinya dengan orientasi yang luas dan mendasar. Yang kontra mungkin akan beralasan saat Pandemik rakyat hilang dan kurang kerja, hilang dan kurang pendapatan dan daya beli bagaimana rakyat seharusnya bersikap atas suatu tarif/harga bahan bakar yang tergolong tinggi.
Mereka terbiasa dengan Premium Rp 6.450 per liter dan hari ini harus dengan Pertalite Rp 7.250 per liter atau Pertamax Rp 9.000 per
liter. Yang lain mungkin akan mengatakan; soal tinggi rendah bukan semata soal angka tetapi juga soal reasoning and meaning.
Sah-sah saja kontradiksi soal tarif sama sahnya dengan fakta bahwa kita harus memandang lurus/komitmen untuk memastikan masa depan generasi manusia dan spesies lain dalam relasinya dengan planet bumi, emisi, gas rumah kaca, atmosfir, early quake, global warning dan seluruh varian atau ikutannya. Semua manusia mau dan harus hidup dan ini adalah sesuatu yang absolut dan bagaimana cara untuk hidup itu sendiri adalah relatif.
Keterjangkauan masyarakat atas harga/tarif adalah salah satu soal dan mendukung implementasi PLB demi keberlanjutan dan
kelangsungan hidup adalah soal lain, keduanya sama. Kita dapat pro kontra soal harga atau tarif tetapi tentunya tak boleh kontra soal
penggunaan jenis bahan bakar dengan kandungan RON berkualitas demi mencegah luasan emisi, gas rumah kaca, global warning dan seterusnya. Di luar Tuhan dan selain manusia tak ada makhluk yang dapat secara sengaja merancang pemeliharan relasi dengan
makrokosmos.
Kebijakan PLB harus kita dukung penuh, ini bukan kebijakan BPH Migas dan Pertamina tetapi kebijakan semua warga negara Indonesia, dari, oleh dan untuk kita semua. Indonesia adalah satu dari segelintir saja negara di dunia yang belum menerapkan
kebijakan RON berkualitas itu. Bahaya atau tanda alam di sekitar kita rasanya sudah cukup merekomendasikan keberpihakan kepada
kebijakan PLB tersebut.
Sebagaimana pemberitaan PT Pertamina bahwa sebagai BUMN sekaligus badan usaha penyalur BBM yang ditunjuk oleh pemerintah,
PT Pertamina (Persero) melalui Sub Holding Commercial & Trading yaitu Pertamina Patra Niaga Regional Jatimbalinus telah menjalankan
Program Langit Biru (PLB) yang sudah dimulai sejak tanggal 19 September 2021 lalu yang pelaksanaannya dilakukan secara bertahap
di beberapa wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) dan sekitarnya.
Melalui PLB Pertamina ingin mengajak masyarakat untuk ikut berkontribusi langsung mengurangi dampak emisi gas buang terhadap
kesehatan lingkungan tanpa mengesampingkan performa kendaraan.
“Program Langit Biru merupakan salah satu bentuk promo sekaligus edukasi kepada konsumen untuk memilih BBM sesuai kebutuhan kendaraan dan upaya mengurangi dampak emisi gas buang kendaraan agar menjadikan kualitas udara yang lebih baik. Untuk mewujudkan hal tersebut, dalam program ini Pertamina memberikan diskon khusus untuk produk Pertalite bagi kendaraan bermotor roda dua dan roda tiga, juga angkot serta taksi pelat kuning yang merupakan transportasi publik, sehingga diharapkan menjadi contoh bagi masyarakat untuk lebih peduli terhadap lingkungan dan beralih ke bahan bakar berkualitas, ”ujar Deden Mochammad Idhani Area Manager Communication, Relations & CSR Pertamina Patra Niaga Marketing Region Jatimbalinus dalam penjelasannya.
“Selain itu dengan diskon khusus tersebut, kami
mengajak para pengendara mendapatkan customer experience, bahwa dengan BBM berkualitas mesin kendaraannya lebih awet dan bertenaga,” tambah Deden.
Pertamina sebagai Lembaga penyalur resmi BBM, akan terus memberikan edukasi kepada konsumen mengenai penggunaan bahan
bakar sesuai dengan spesifikasi kendaraan.
Contohnya, saat ini Pertamina memiliki bahan bakar minyak jenis gasoline seperti Pertamax
yang memiliki kelebihan yaitu formula PERTATEC (Pertamina Technology), formula zat aditif yang memiliki kemampuan untuk
membersihkan endapan kotoran pada mesin sehingga mesin jadi lebih awet, menjaga mesin dari karat serta pemakaian bahan bakar yang
lebih efisien.
“Selain itu, Pertamina juga telah memiliki bahan bakar dengan standar Euro 4 yaitu Pertamax Turbo. Selain membuat awet
mesin, dengan terpenuhinya standar tersebut artinya bahan bakar Pertamina juga ramah lingkungan”, ujar Deden. Ia menambahkan,
pihaknya tidak merekomendasikan konsumen untuk mengisi kendaraan di bawah angka kompresi kebutuhan atau spesifikasi kendaraan.” Ujarnya.
“Misalkan jika kendaraan dengan kompresi 10:1 yang membutuhkan BBM dengan RON minimal 92 yaitu Pertamax, sebaiknya konsumen tidak mencampur dengan produk yang memiliki RON di bawah itu.” Tandas Deden.
“Dengan mengisi BBM sesuai kebutuhan, selain menjaga mesin tetap awet pembakaran juga menjadi lebih sempurna sehingga tidak
menimbulkan polusi yang dapat mengotori lingkungan”, pungkasnya.
Program Langit Biru juga sejalan dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.20 tahun 2017 mengenai emisi gas buang kendaraan.
“Dalam aturan tersebut, ditekankan bahwa penggunaan bahan bakar minyak harus sesuai dengan standar emisi gas buang untuk meminimalisir pencemaran udara. Salah satu penekanannya adalah penggunaan BBM dengan angka oktan (RON) minimal 91,”
tambah Deden.
Pertamina sendiri telah menghadirkan Program Langit Biru di 95 titik SPBU untuk wilayah Nusa Tenggara Timur yang tentunya juga diberikan diskon khusus untuk produk Pertalite, dengan potongan harganya berbeda untuk tiap wilayah dan dilakukan secara bertahap.
“Diharapkan dengan adanya program ini konsumen menjadi lebih paham mengenai pentingnya kesesuaian spesifikasi BBM dengan
kendaraan agar mesin menjadi lebih awet, pembakaran lebih sempurna dan udara menjadi lebih bersih,” ungkap Deden.
Bagi pelanggan dan konsumen yang ingin mendapatkan informasi layanan produk, layanan pesan antar maupun memberikan kritik dan saran, pelanggan setia Pertamina dapat menghubungi Pertamina Call Centre 135.
(Demikian Media ContactbDeden Mochammad Idhani Area Manager Communication, Relations).
Hal lain yang tak kalah urgens ialah bahwa kebijakan PLB atau pengalihan jenis BBM ke yang berkandungan RON lebih berkualitas ini
bukan sekadar diskusi soal angka rupiah atau kadar RON itu sendiri.
Ini terkait juga dengan apa yang disebut life style yang harus disesuaikan dan sesuaikan kembali tiada henti untuk capaian suatu keseimbangan yang semaksimal mungkin. Kalau suatu life style sudah adaptif
pertahankan dan tingkatkan kalau belum, diusahakan mewujudkannya.
Kalau sesuatu mobile tidak perlu alat bantu kendaraan bermotor ya tidak perlu.
Kalau bisa dengan berjalan kaki ke suatu tujuan mengapa pula harus berkendaraan, selain sehat juga mendukung pencegahan polusi.
Kalau bisa gunakan sepeda dayung mengapa pula harus sepeda motor atau mobil. Kalau bisa menggunakan kendaraan sekaligus dengan
beberapa orang mengapa pula harus sendiri-sendiri, tentu saja kualitas transportasi umum harus terjamin. Kita pasti bisa dan harus bisa karena ancaman misalnya yang ditulis dalam buku The Uninhabitable oleh David Wallace-Wells itu perlu kita simak dengan sesaksama mungkin.
Kita dukung penuh Program PLB untuk Indonesia tumbuh, untuk kelangsungan hidup manusia dan bumi.**
tentang penuli
DR.Lery Rupidara saat ini menjabat sebagai Kepala Biro Perekonomian Administrasi Pembangunan
medio, 1 Nopember 2021