Ditolak Sebagai Raja Amanuban, Jon Nubatonis: “Silahkan Gugat, Biar Ada Kepastian Hukum”

Kupang, TopNewsNTT.Com||Penobatan Jonathan Nubatonis sebagai Raja Amanubam Ke-47 oleh Bupati Kupang Eduard Markus Lioe pada Senin, 15 September 2025 di Sonaf Amanuban menuai pro kontra dari para amaf, tokoh adat dan keluarga besar Moen Ha di TTS.

Dikutip dari berbagai media, alasan penolakan  dikarenakan di Amanuba hanya ada satu Raja yakni Raja Nope, dan bahwa destar dan so’it asli masih di tangan Raja Nope. Penyerahan beberapa simbol kerajaanpun bukan hanya kepada keluarga Nubatonis, tapi juga kepada keluarga Nuban, Asbanu dan Tenis. Acara itupun disebutkan hanya sebagai momentum syukur adat atas kepercayaan yang masih terjalin selama 38 tahun.

Menanggapi penolakan tersebut, Jonathan Nubatonis kepada media Kamis, 18/9 dikantornya menegaskan bahwa penobatan dirinya itu sah secara adat karena itu merupakan pengembalian hak raja dari raja Nope ke raja Nubatonis yang diserahkan tahun 1986.

Secara pemerintahan, penobatan oleh Bupati TTS Eduard Markus Lioe-pun disebutkannya sah secara hukum karena diatur dalam Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1986 menegaskan Situs Kerajaan Amanuban sebagai cagar budaya yang berada dalam pengawasan negara. Ditambah lagi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya menempatkan seluruh tanggung jawab pengelolaan situs pada bupati.

“Situs budaya itu 100 persen tanggung jawab bupati. Jadi wajar bupati hadir. Beliau bukan orang sembarangan, politisi senior, tokoh TTS, dan paham aturan,” jelas Jonathan.

Jonathan Nubatonis, yang mengakui dirinya merupakan keturunan sah raja ke-47 Raja Amanuban. Dan prosesi yang sudah dilaluinya bukan penobatan tapi pengembalian takhta kerajaan oleh Raja Nope ke dirinya yang memang berhak sebagai raja Amanuban ke 47.

Ia meminta pihak yang tidak menerimanya atau menolak dirinya sebagai Raja Amanuban  agar perdebatan adat tidak boleh diseret menjadi ajang saling serang di ruang publik maupun media sosial tapi langsung melalui gugatan perdata saja ke pengadilan. Tidak usah somasi agar ada kepastian hukum dan dirinya bersama tim kuasa hukum siap menghadapinya. Menurutnya, kepastian hanya bisa diperoleh melalui jalur hukum.

“Kalau saya yang dinobatkan tidak benar, ada konsekuensi harus diterima, pasti saya dapat sanksi karena itu hukum adat, ada alam dan ada Tuhan,” ujar Jonathan kepada wartawan di ruang kerjanya, Kamis (18/9/2025).

Ia menegaskan, jika ada pihak yang keberatan dipersilahkan menempuh jalur hukum, bukan sekadar bersuara di media sosial. “Kalau tidak setuju, jangan hanya somasi silahkan gugat ke pengadilan. Biarlah pengadilan yang memutuskan siapa sesungguhnya Raja Amanuban,” katanya.

Jonathan menyoroti maraknya debat publik di ruang digital yang dinilainya kontraproduktif. Ia memperingatkan agar masyarakat berhati-hati menulis komentar atau menyebarkan informasi.

“Ingat, ada Undang-Undang ITE. Jangan sampai kita terjerat hukum hanya karena emosi di grup WhatsApp atau media sosial,” ujarnya.

Politisi senior itu menambahkan, bila pengadilan memenangkan dirinya, ia siap merangkul semua keluarga besar Amanuban, termasuk keluarga Nope, untuk bersama-sama mengurus kerajaan. Namun jika pengadilan memutuskan sebaliknya, ia berjanji legowo menurunkan destar kebesaran.

Lebih jauh, Jonathan mengkritik narasi yang menyebut adanya “amaf” (tetua adat) yang menolak penobatan dirinya. “Saya juga punya banyak amaf. Tapi ini bukan bicara tentang amaf, ini bicara siapa sesungguhnya Raja Amanuban,” tegasnya.

Ia kembali menantang pihak yang menolak untuk berhenti melempar opini di media sosial. “Kalau ada yang tidak setuju, segera ke pengadilan. Tim hukum saya sudah siap,” katanya.

Sengketa Raja Amanuban kini bukan hanya soal adat, tetapi juga menyentuh ranah hukum, politik, hingga legitimasi budaya. Keputusan pengadilan akan menjadi penentu sah atau tidaknya kepemimpinan Jonathan Nubatonis. Namun, sebelum palu hakim diketuk, kontroversi ini tampaknya masih akan menjadi bara panas yang menguji kohesi masyarakat Amanuban di era digital.|| jbr