Max Sanam, Cara Pandang Global : Undana Sebagai Kesatuan Universitas, Semua Milik Bersama

Birokrasi Pendidikan tinggi Regional

NTT, TOPNewsNTT|| Demikian ajakan Rektor Undana Max Sanam, kepada semua civitas akademisi Undana untuk melihat dan memanagemen Undana yakni secara Global sebagai sebuah kesatuan Universitas bukan terkotak terbatas pada masing-masing fakuktas. Hal ini diungkapkan Max Sanam  kepada media ini Sabtu, 19/2.

Ajakan ini juga sebagai solusi menyelesaikan berbagai kendala dan kekurangan di Undana yang sempat juga menimbulkan demo dari Dekan, wakil dekan, ka prodi dan mahasiswa FISIP beberapa hari lalu sebagai protes kepada kebijakan dirinya sebagai rektor yang dituding memerintahkan penghentian pembangunan gedung FISIP.

Walau menyesalkan gerakan demo tersebut yang dinilai materi yang diprotes tidak sesuai fakta sebenarnya, namun Max tegaskan tidak ingin menanggapi secara emosional tapi bijak, dengan mengajak semua civitas akademisi Undana, tidak terbatas pada FISIP saja, untuk melihat Undana dengan semua aset yang ada secara global sebagai milik bersama. Undana harus dilihat sebagai  UNIVERSITAS negeri kebangaan masyarakatt NTT, bukan terbatas pada satu fakultas atau prodi saja.

Wujudnya, jelas Max Sanam antara lain,

“Seluruh gedung kuliah di Undana harus bisa digunakan secara bersama oleh semua mahasiswa dan dosen dari semua fakultas dan prodi selama untuk kegiatan perkuliahan. Karena seluruh gedung adalah  milik Undana baik yang seluas 100 hektar di Penfui, baik yang di Naikoten dan Walikota, semua gedung adalah milik Undana dan semua fakultas atas nama Undana saya ingin bebas menggunakannya.” Tandas Max.

Mantan dekan FKH ini mencontohkan sistem penggunaan ruangan kuliah di Belanda yang menggunakan jadwal dan sistem booking. Seluruh gedung dapat dipergunakan oleh semua fakultas pada jam-jam kosong. Setiap fakuktas mendaftarkan jadwal kuliah setiap pagi dan Univeraitas menbagikan jadwal penggunaan ruang kuliah di jam kosong.

“Jika di Undana digunakan sistem ini maka akan terjadi in efisiensi dalam berbagai hal. Perkuliahan akan tetap berjalan.” Tandas Max.

Bukan tanpa alasan ide itu dicetuskan mantan Wakil rektor 1 periode ini,

Pertama adalah Undana sudah tidak memperoleh anggaran pembangunan dari Kemendikbudristek dan sudah lama menggunakan Dana PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) atau penghasilan internal Undana saja misal UKT per fakultas. Sehingga program pembangunana gedung baru atau renovasi gedung lama yang rusak akibat berusia tua ataupun  seroja tidak dapat dilaksanakan sekaligus tapi harus dengan daftar tunggu seperti sistem arisan.

Kedua, di Undana ada Unit yang tidak memiliki penghasilan seperti lembaga dan rektorat sehingga pembiayaan managemennya diambil dari total UKT yang disetorkan setiap fakultas yang proposi pembagianya, diakui Max diketahui dengan pasti oleh setiap dekan.

Ketiga unit yang harus dibiayai  bukan hanya sarpras atau infrastruktur saja,  tapi pembiayaan managemen non sarpras.

Keempat ada beberapa kebijakan terkait kewajiban mahasiswa yang berimbas pada  menurunnya pemasukan internal Undana seperti pengurangan UKT contohnya yang juga sering diusulkan oleh dekan masing-masing fakultas.

Ada pembiayaan pemberian remunerasi bagi para rektor, para dekan dan dosen berprestasi yang hingga hari ini dibayarkan 100% tanpa pengurangan demi menjamin tingginya kinerja mereka. Yang setahun totalnya mencapai  Rp60 miliar.

“Cara penghitungannya para dekan dan dosen tahu persis.” Jelas Max.

Kelima, di Undana ada 11 fakuktas dan 66 prodi, plus merger 1 pasca sarjana, semua butuh perbaikan dan fasilitas, tapi butuh anggaran yang besar juga. Dan dibandingkan dengan pemasukan, dan unit pembiayaan yang tidak hanya infrastruktur, maka tidak akan cukup jika dilaksanakan sekaligus dalam setahun, tapi harus dengan pembagian yang bijak.

Dengan kondisi diatas, maka wajar dirinya mengajak para civitas memanfaatkan sarana yang ada sambil menunggu kebijakan pembangunan gedung dengan hitung-hitungan yang matang dan hati-hati oleh dirinya dan tim teknis serta kepala UPBJ,  sehingga iklim perkuliahaan tetap berjalan dengan aman dan tenang.

Menanggapi peristiwa demo dekan, wakil dekan, kepala prodi dan mahasiswa FISIP  beberapa  hari lalu, bijak Max tidak mempermasalahkan  para mahasiswa yang ikut demo,

“Anggap saja mereka belajar dinamika berdemo. Walau saya punya bukti mereka dipaksa, di intimidasi untuk ikut demo. Apa yang sudah terjadi oleh mahasiswa saat berdemo, saya terima, tidak apa-apa. Tapi  saya minta agar demo harus dengan substansi yang jelas dan dilakukan dengan cara beradap, beretika dan sesuai mekanisme. Itupun, jika memang sudah tidak terbuka ruang diskusi ya, tapi saya orang yang demokratis dan membuka ruang diakusi 1×24 jam. Silahkan gunakan ruang itu.” Tandasnya.

Yang disesalkan Max dari substansi demo kemarin sebenarnya bisa didiskusikan dengan beretika dengan dirinya sebagai rektor diruang kerjanya, tanpa melalui demo.

Ia juga sesalkan demo dipimpin oleh pemimpin fakultas yang punya garis komunikasi ke dirinya sebagai rektor. Namun Ruang komunikasi, audiens dan koordinasi tidak dipakai tapi memilih berdemo.

Kepada pimpinan FISIP Max tegaskan bakal memberi peringatan keras, karena sudah mengarahkan, memaksa dan mengintimidasi mahasiswanya untuk berdemo di mass pandemi dan dengan substansi yang tidak sesuai fakta.

“Itu bentuk pelanggaran terhadap etika PNS, karena kita punya ruang koordinasi, audiens dan komunikasi yang seharusnya digunakan dulu. Saya akan beri teguran tertulis.” Ujarnya.

Intinya, tegas Max, ia tidak pernah beri perintah  hentikan pembangunan gedung FISIP

“Faktanya,  gedung FISIP ini sudah dibangun dari setahun lalu (2021) dan bersifat multi years, karena pembangunannya menggunakan Dana PNBP  Undana sendiri, sehingga kapan penyelesaiannya punya target, tapi targetnya juga dinamis tergantung dari ketersediaan uang Undana.” Jelas Max.

Uang Undana, yakni dalam saldo awal baru biaa dilihat awal tahun.  Saldo awal juga selama ini digunakan untuk berbagai kepentingan Undana.

“Undana punya 11 Fakultas,  sekarang jadi 9 fakultas karena ada merger plus Pasca Sarjana da 66 prodi membangunnya butuh dana banyak dan harus dengan sistem arisan. Satu persatu. Belum lagi  untuk pembiayaan managemen rektorat pada lembaga-lembaga dan unit-unit yang lain, Rumah Sakit manusia dan rumah sakit hewan dan sebagainya, semua membutuhkan dana. Mana sanggup Undana kalau sekaligus?” Sebut Max merinci.

Dana DIPA setiap Fakultas, jelas Sanam, sudah ada dan semua sudah dibagikan pada Desember 2021, tanpa pemotongan dan sudah berjalan, sedangkan yang dibicarakan adalah saldo awal tahun 2022.

“Dan yang punya kebijakan dan hak menentukan adalah Rektor sesuai visi misi dan program prioritasnya, sebagai kuasa pengguna anggaran. Rektor yang menentukan. Tapi dalam penentuan ini semua ada catatan atau coretan-coretan dengan kepala ULP (Unit Layanan Pembangunan) atau sekarang UPBJ (Unit Pengadaan Barang dan Jasa).” Kata Max Sanam.

Saat ini ada kelanjutan pembangunan beberapa gedung yang dibuat beberapa fakultas yang sifatnya multi years.

“Lalu ada juga maintainance atau perbaikan kerusakan akibat seroja ataupun karena kerusakan alamiah. Dampak Seroja saja masih ada, belum tuntas masih harus diperbaiki termasuk untuk managemen lain seperti rumah sakit manusia dan  hewan dan lain sebagainya.” Terang  Max.

“Dari coret-coretan kami dan tim teknis maka diperolehlah sebuah fakta bahwa dengan dana Rp10 Miliar yang ada untuk gedung FISIP saja tidak cukup dan tidak akan selesai tahun ini,  tapi akan dilanjutkan tahun depan. Sehingga diputuskan jika dengan Rp10 miliar juga tidak selesai dikerjakan tahun ini, maka diambil sedikit yang saya sebut “cubit” untuk dipakai ke bagian atau unit lain yang juga butuh dana.” Ungkapnya.

Dana hasil “cubit” tersebut, jelas Max, yang akan dipergunakan untuk pengadaan alat PCR bagi Rumah Sakit Undana untuk kebutuhan PCR karena alat PCR sebelumnya  sudah diambil oleh FAN.” Ungkap dosen FKH yang sudah berkarir 30 tahun ini.

“Karena dalam masa pandemi ini sangat dibutuhkan PCR. Masa ada rumah sakit tapi tidak ada PCR. Sehingga diambilah kebijakan menggunakan dana-dana saldo awal ini. Dan dana yang “dicubit” bukan hanya dari FISIP, tapi juga dari pembangunan FKIP yang juga dikurangi. Itukan hak saya sebagai rektor.” Terangnya.

“Tapi sayangnya catatan-catatan tim teknis itulah yang entah bagaimana sudah sampailah di dekan bersangkutan dan jadi materi demo kemarin. Padahal dana itu belum masuk dalam DIPA dan masih dalam revisi geser atau revisi tambah kemudian, dananya belum masuk.” Tandas Max menyayangkan.

Max menyebut sebagai rektor dan kuasa pengguna anggaran, kewenangan ada padanya dalam memutuskan untuk apa dan kemana saja dana dipakai selama memenuhi aturan, namun ia sadar adalah rektor Undana, ia harus dan akan bijak. Pembangunan akan berjalan dan diselesaikan tapi dengan skala prioritas dan daftar tunggu. Satu persatu setiap tahunnya sesuai kondisi keuangan. Tidak bisa sekaligus dalam setahun.

Jika berdasarkan kewenangannya, Max mencontohkan ia sebagai sebagai mantan dekan Kedokteran Hewan (kalau dirinya mau),  bisa saja ia bangun Gedung FKH yang selama ini tidak punya gedung.

“Selama ini FKH menggunakan gedung asrama ADG di pojokan sana dan orang-orang tidak tahu dimana FKH. Itu gedung yang sudah sangat lama, puluhan tahun usianya dan hanya direnovasi. Tapi mahasiswanya bayar UKT paling mahal yakni Rp12,5 juta dibanding Fakultas lain yang bayar UKT hanya Rp3,5 juta. Mahasiswa FKH dapat apa selama ini? Tapi itu kalau saya mau berpikir sebagai seorang dokter hewan yang juga mantan dekan dan dosen FKH ya, tapi saya ini dosen Undana! Sehingga sekarang dalam mengambil kebijakan apapun, saya memposisikan diri untuk kepentingan Undana bukan FKH. Saya orangtua bagi semua mahasiswa Undana. Kalau para dekan berpikir untuk masing-masing fakultas saja, untuk anak-anak mereka, wajar karena mereka berpikir segmentik untuk nama mereka di Fakultas. Sedangkan saya berpikir secara menyeluruh untuk seluruh Undana.” Tegas Max.

Walau menyayangkan coretan kebijakan pembiayaan hasil hitungan dirinya, tim teknis dan kepala BPBJ harus jadi alasan demo bahwa ia memotong Uang pembangunan FISIP, Max tegaskan ia ingin pembangunan harus tetap jalan,

“Tidak boleh mangkrak karena saya tahu anak-anak saya di FISIP karena banyak jumlahnya, mereka butuh  gedung kuliah yang reprensentatif. Tapi semua harus mempertimbangkan kondisi keuangan Undana atau saldo awal tahun ini. Dananya  belum masuk, masih dalam DIPA revisi.” Tegasnya menjelaskan.

“Saya ingin tegaskan  tidak pernah buat komitmen dengan siapapun termasuk dengan dekan FISIP untuk menyelesaikan pembangunan gedung FISIP tahun ini karena DIPA masih direvisi, sehingga belum bisa diselesaikan tahun ini.” Jelasnya.

Walau pernah dekan FISIP datang bicara ke saya sekitar Januari 2022 dan  mohon untuk pembangunan gedung FISIP dilanjutkan dan dekan FISIP memaklumi alasan penghentian sementara pembangunan oleh rektor sebelumnya, lantaran tidak cukup anggaran, ia.minta kalau bisa dilanjutkan tahun ini.

“Saat itu saya hanya jawab pak dekan nanti kita lanjutkan, tapi saya tidak janjikan tahun ini penyelesainya, karena  saya tidak tahu biayanya berapa. Tapi yang jelas komitmen saya semua di Undana, apalagi FISIP yang belum mendapatkan gedung yang baru, dibandingkan fakultas yang lain, maka atas nama keadilan maka akan dilanjutkan pembangunannya tapi saya tidak nyatakan dalam tahun ini.” Tandas Max.

“Tentang pendapatan FISIP yang dkatakan  Rp17 miliar dari UKT, benar, karena jumlah prodi FISIP cukup besar dan mahasiswa juga banyak. Tapi yang jelas semua pimpinan di Undana tahu bahwa ada proporsi penghitungan pembagian besaran DIPA ke tingkat Fakultas bahkan sampai ke Prodi. Berdasarkan jumlah mahasiswanya yang dasarnya pada prodi dan dikompilasi ke total DIPA untuk setiap fakultas, berdasarkan jumlah mahasiswa yang besaran uangnya menjadi jumlah DIPA yang diterima per fakuktas. Tapi perlu dicatat dan tanyakan ke para dekan, total UKT per fakultas  akan dikurangi dengan pembayaran remunerasi sebagai penghasilan tambahan bagi dosen yang berkinerja baik yang selama ini dibayarkan 100%.” Rinci Max.

FISP, jelasnya, punya dosen paling banyak dengan profesor dan dosen kepala, sehingga pengeluaran dari penghasilan UKT yang dikatakan besar itu, besar juga  untuk pembayaran remunerasi para dosen, yang cara penghitungannya, aku Max, diketahui pasti oleh para dekan.

“Kalau penghasilan Fakultasnya sekian, besarannya berapa persen ke Prodi, berapa persen ke fakultas, dan berapa persen ke universitas. Karena universitas managemen yang cukup besar juga. Kita sistemnya subsidi silang. Tidak bisa mengklaim FISIP dapat sekian, kemudian 100 persen mereka harus dapat semua. Karena ada unit-unit yang tidak menghasilkan, lanjutnya, ia ingin cara pandang para dekan dan dosen harus berubah,” katanya lugas.

“Kita semua  dalam satu keluarga besar Undana. Ada pembiayaan untuk managemen unit tertentu yang tidak memiliki penghasilan yang pembiayaannya diambil dari UKT setiap fakultas yang disetorkan ke univeraitas. Contohnya lembaga-lembaga dan rektorat. Rektorkan tidak punya mahasiswa, lalu rektor mau jalan tugas mau ambil uang dari mana? Wakil rektor dan kepala biro mereka kan tidak ada mahasiswa, mau ambil uang dari mana? Jadi untuk inilah proporsional penghasilan per fakultas yang di setor ke unirvesitas, untuk kebutuhan menjalankan managemen universitas.” Ungkapnya.

Dengan fakta-fakta diatas, Rektor ajak semua dekan, dosen, staf dan mahasiswa semua warga fakultas dan prodi untuk sama-sama berpikir bijaksana dan melihat masalah ini secara global, menyeluruh, bukan terkotak-kotak, demi kepentingan bersama secara universitas bukan kepentingan per fakultas dan prodi saja.

Max juga minta kejujuran dekan FISIP,  untuk membuka dan mengakui berapa banyak pembayaran remunerasi setiap fakultas untuk paradosen.

“Kalau mau dan bersedia serta berani demi kelanjutan pembangunan gedung FISIP, apa mau dari dekan sampai dosen dipotong remunerasi mereka, misal dosen dan dekan potong 75 persen, rektor 50 persen sehingga ada penghematan? Saya berani kalau para dekan dan dosen mau,  cukup satu tahun saja sehingga masalah gedung seperti di FISIP bisa diselesaikan dan tidak jadi masalah yang akan menghambat proses perkuliahan.”tantangnya.

Jujur Max ungkapkan pembayaran remunerasi di Undana paling besar.

“Per tahun pembayaran remunerasi ke rektor, para dekan dan para dosen ping besar dari seluruh post pembiayaan yakni sekitar Rp60 miliar. Belum lagi ada kebijakan pengurangan UKT  mahasiswa karena pandemi dan seroja, ada orangtua mahasiswa yang kehilangan pekerjaan karena pandemi.” Jelas Max.

“Kan, yang selalu mendorong dan meminta rektor membuat dan memberi kebijakan pengurangan UKT itu adalah para dekan sendiri. Pak rektor tolong mahasiswa ini dikurangi UKT karena kondisi ini dan itu.” Tandasnya mengingatkan.

Keluhan Dekan FISIP jika mereka belum punya gedung sejak tahun 2008, dijelaskan Max  bahwa kebijakan penyerahan gedung FISIP bagi Fakultas Kedokteran diambil Rektor Frans Umbu Data saat itu karena kondisi saat itu dimana karena jumlah mahasiswa FISIP belum banyak tapi gedung ada. Dan saat itu juga bersamaan  ijin fakultas kedokteran diberikan tapi belum ada gedung, maka rektor waktu itu (2008)  meminta koordinasi dengan dekan FISIP saat itu untuk menyerahkan beberapa ruangan milik FISIP dipakai oleh fakultas kedokteran. Jadi itu kebijakan sejak 2008 dan ia baru jadi rektor 2 bulan.

“Tapi bukan berarti anak-anak FISIP sudah tidak pernah menggunakan ruangan yang dipakai oleh fakultas kedokteran itu sejak tauun 2008 hanya karena fakuktas kedokteran gunakan ruang FISIP sejak 2008.” Ujarnya.

“Namun semua kondisi tersebut, kan bisa dikomunikasi secara ferbal dengan saya, tidak perlu demo berjalan dan triak-triak seolah rektornya penjahat yang sudah lakukan kesalahan fatal terhadap FISIP.  Saya juga baru ditunjukkan ada gedung yang plafon rusak akibat seroja kan bisa di tunjukkan dengan cara yang terbuka dan santun tidak harus dengan demo. Kan sudah ada juga perbaikan dari PUPR untuk kerusakan ringan. Dan untuk kerusakan sedang berat adalah tanggung jawab Undana.”ujar Max.

“Di Undana ada 66 prodi. Jika semua prodi minta ruangan kuliah maka akan berapa banyak anggaran yang harus dikeluarkan?  Jangan bandingkan dengan universitas negeri di luar NTT seperti di kota-kota besar di Jawa misalnya. Karena UKT mereka besar.” Ungkap Max lagi.

Sementara Undana, ujarnya,  adalah salah satu Universitas negeri yang termurah UKTnya di Indonesia.

“Kalau di tempat lain prodi komunikasi UKT Rp10 juta,  di Undana hanya Rp3,5 juta saja. Sehingga wajar jika mereka peroleh ruang kuliah memadai.” Beber Max mencontohkan.

Padahal, kalau mau dilihat dari Komitmen Menteri Pendidikan dengan pola “Merdeka Belajar, Kampus Merdeka” yang dianut oleh Undana menerapkan 30 persen theori dan 70 persen praktek dilapangan, kebutuhan gedung bukanlah hal yang mendesak.

“Misalnya fakultas Pertanian dan Peternakan kan lebih banyak belajar di lapangan sesuai program Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka. Prodi Ilmu Komunikasi kan lebih baik belajar turun ke lapangan misalnya ke TVRI, RRI belajar langsung media komunikasi.  Prinsip program Merdeka Belajar, Kampus Merdeka harusnya lebih banyak di lapangan, bukan belajar dalam ruang kelas ber ac. Kan 30 persen theori 70 persen praktek.” Kata Max.

Jika dekan, wakil dekan dan para dosen serta kepala prodi mau sabar, saya sudah turun roadshow ke masing-masing fakultas dan prodi dan jadwalnya, jika tidak bertepatan dengan tugas ke Jakarta, maka dalam minggu kemarin akan turun ke FISIP dan FKM.

“Roadshow tersebut saya dan para wakil rektoe ingin mengetahui kebutuhan setiap fakultas dan prodi serta menjelaskan kondisi keuangan  serta apa saja kebijakan dan program rektorat dan universitas. Sejak dilantik dua bulan lalu, saya dan  para warek sudah lakukan roadshow ke masing-masing fakultas dan prodi dan lembaga. Sesuai jadwal saya sudah ke fakultas hukum, Fapet, Perikanan dan Kelautan dan FKIP. Dan rencananya mau ke FKM dan FISIP tapi bertepatan tugas ke Jakarta sehingga masih ditunda. Saya aktor utama sehingga saat saya tidak ada maka WR tidak bisa turun sendiri. Rencananya saya turun ke sana baru saya sampaikan.”

Ia mempersilahkan setiap dekan menggunakan hak audiens secara terbuka dengan dirinya untuk membahas hal-hal yang menjadi kendala, kebutuhan dan permintaan setiap fakultas karena itu ia membuka waktu 1×24 jam agar hal-hal internal dibicarakan dengan kepala dingin, jangan dengan demo.

Max juga sadar dan akui protes, kritik, ide dan saran jadi unsur penting dan bukti kasih sayang dan perhatian dari semua unsur di Universitas ke dirinya sebagai pimpinan Lembaga ini, namun tetap ia juga lebih menghargai cara santun, beretika dan ruang diskusi sebagai cara yang lebih baik dan tetap untuk berkomunikasi sebagai orang-orang akademisi yang intelektual demi tercapainya kesepakatan dan kesesuaian pendapat dalam menyusun program dan langkah strategis membangun Undana ke depan.

“Goal kita di Undana satu dan sama yakni menghasilkan lulusan yang tidak saja berkualitas tapi juga memiliki karakter yang baik sesuai ideologi Pancasila. Jadi mari kerja dengan benar dan bangun koordinasi, komunikasi dan hubungan yang baik agar visi misi dan tridharma perguruan tinggi tercapai.” Tutupnya berpesan.**{juli br}