Kementrian ATR-BPN Gelar FGD dan Workshop Penyusunan Instrumen Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan SUTT 150 KV Ruteng-Labuan Bajo dan Pelabuhan Tenau
NTT, TOP NEWS NTT ■■ Ditjen Pengendalian Pemanfaatan Ruang dan Penguasaan Tanah (PPRPT) Kementerian ATR-BPN menggelar FGD dan Workshop selama dua hari di lokasi berbeda. Hari pertama pada Kamis, 12/9/2019 adalah FGD ‘Penyusunan Instrumen Pengendalian Pemanfaatan Ruang (INSDAL) Pelabuhan Tenau’ dan hari kedua, Jumat, 13/9 digelar Workshop terkait ‘INSDAL Kawasan Sekitar Pelabuhan Tenau’ di Aston Hotel.
Pembukaan workshop di Hotel Amaris (Kamis, 12/9), dilaksanakan oleh Kadis PUPR Provinsi NTT (Ir. Maksi Y.E Nenabu, MT), dari Kem. ATR/Agraria Tata Ruang BPN (Ir Harris Simanjuntak, M. Dev, Plg selaku Kasubdit Dal.4 Ditjen PPRPT Kem ATR/BPN).
Workshop INSDAL Kawasan Sekitar Pelabuhan Tenau’ di Aston Hotel, Jumat, 13/9
Kadis PUPR Provinsi NTT (Ir. Maksi Y.E Nenabu, MT) yang wakili Pemprov NTT menyampaikan secara singkat sambutan Sekda Pemprov.NTT Bennediktus Polo Maing yang antara lain mengapresiasi dan menyambut baik kegiatan Workshop yang diinisiasi oleh Kementerian ATR-BPN dalam rangka penyusunan instrumen lengkap pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan sekitar SUTR 150 KV Ruteng -Labuan Bajo dan Pelabuhan Tenau di NTT. Dan ini menunjukkan bahwa pemerintah pusat memiliki perhatian serius khususnya Kementerian ATR-BPN terhadap wilayah provinsi NTT. Karena Tata Ruang adalah dokumen spesial yang akan jadi dasar salan setiap pengisian ruang. Karenanya Sekda berharap dokumen Tata Ruang dapat dijadikan instrumen pedoman perencanaan terpadu yang bersifat multi-sektor, multi-fungsi dan multi-dimensi demi harmonisasi penataan ruang. Tata Ruang harus jadi media untuk memadukan program sektor terkait dengan pengisian ruang penting agar seluruh kegiatan dapat memastikan lokasinya sesuai dengan arahan rencana Tata Ruang.
Diakui sekda bahwa pengendalian pemanfaatan ruang adalah bagian penting dan tak terpisahkan dalam proses penataan ruang, agar sejalan dengan tata ruang yang telah ditetapkan. Ketidak sesuaian akibat belum jelas mekanisme pengendalian karena belum tersusunnya dokumen pengendalian yang terlegitimasi melalui Perda. Dan karenanya banyak terjadi pelanggaran dan penyimpangan dalam pelaksanaan tata ruang sehingga pemanfaatan tata ruang tidak sinkron. Dan apa yang akan dilakukan hari ini menurut Sekda adalah pelaksanaan PP No.13/2017 tentang perubahan atas PP No.26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Kementerian ATR-BPN melalui Ditjen Pengendalian Pemanfaatan Ruang dan Penguasaan Tanah (PPRPT) telah juga menerbitkan Prosedur Tetap Ditjen Pengendalian Pemanfaatan Ruang dan Penguasaan Tanah (PPRPT) No.57/SOP-700/II/2019 tentang Penyusunan Rencana Teknis Antara (RTA) di Kawasan Objek Startegis. Dan khusus di NTT kawasan strategis ditetapkan di Kawasan Sekitar SUTT 150 KV Ruteng-Labuan Bajo dan Pelabuhan Tenau. Itulah dasar hukum pelaksanaan Workshop ini.
Sekda juga ajak agar peserta menanggapi secara serius seluruh informasi yang disampaikan oleh tim perencana pusat terhadap dokumen yang disusun. Masukkan dan informasi objektif sangat diharapkan.
Pada kegiatan hari kedua (Jumat, 23/9) di laksanakan Aston Hotel dan dibuka Ir. Harris Simanjuntak, M.Dev, Plg
Kasubdit Pengendalian Pemanfaatan Ruang Wilayah IV, Ditjen Pengendalian Pemanfaatan Ruang dan Penguasaan Tanah, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN.
Harris Simanjuntak, kasubdit. Pengendalian Ruang Wilayah 4 Wilayah Timur dalam sambutannya mengatakan: diharapkan dari kegiatan dua hari ini adalah input yang bermanfaat dalam penyusunan dokumen lengkap instrumen Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan SUTT Ruteng-Labuan Bajo dan Pelabuhan Tenau.
Kepada media ini, secara terpisah Harris menjelaskan : “Tupoksi kita adalah pemanfaatan Ruang yang ditujukan kepada dua objek vital strategis yang perlu diamankan dan dilindungi di NTT dan untuk tahun 2019 yaitu di SUTT 150 KV PLN dari Ruteng – Labuan Bajo dan objek Vital kedua adalah di Pelabuhan Tenau. Kegiatan workshop selama dua hari ini merupakan kegiatan kedua kalinya di NTT, pertama kali kami sudah lakukan untuk penataan PLB di Motamasin dan kali ini untuk Pelabuhan Tenau dan Ruteng-Labuan Bajo.” Jelas Harris
Dijelaskan lebih lanjut oleh Harris bahwa penataan dan pengendalian ruang di koridor 150 KV SUTT Ruteng-Labuan Bajo karena ada pembangkitnya masing-masing. Dan dalam rangka menggenjot pembangunan bidang pariwisata di kedua lokasi ini (Ruteng dan di Labuan Bajo), oleh pemerintah NTT, maka kebutuhan energi vital disana perlu dijaga dan dilindungi pembangkit listriknya, sehingga dalam pembangunannya dan penyalurannya tidak akan terganggu oleh pembangunan lain. “Sebagai contoh jika ada pembangunan rumah di koridor SUTT ini maka saluran listrik akan terganggu di kedua objek pariwisata ini. Dan itu yang akan kami kendalikan dan tata pemanfaatan ruangnya dibawah SUTT itu dan dilokasi-lokasi pembangkit listrik dengan harapan akan diantisipasi untuk pemanfaatan sampai jangka waktu 20 tahun ke depan. Dan kalaupun dibangun maka tidak akan saling mengganggu. Dan untuk itulah sedang kami persiapkan instrumen lengkapnya. Kita siapkan pola ruang dan struktur ruang di koridor itu serta areal sekitar pembangunan SUTT itu. Kami siapkan instrumen pola ruang dan struktur ruang itu yang akan kita berlakukan sistem zonasi dan kemudian akan kita kendalikan perijinannya, pemberian insentif dan disinsentif bagi kegiatan pembangaunan yang akan dibatasi dan didorong dibangun disekitar koridor itu, serta perangkat sanksi bagi yang melanggar. Harapan kita instrumen ini nantinya akan djadikan Perda. Lokasi kedua adalah di Pelabuhan Tenau sebagai salah satu objek vital yang akan jadi pelabuhan internasionall setara dengan pelabuhan di Makasar dan Manokwari. Dan jika jadi pelabuhan internasional akan ada standar yang berlaku bagi penataan peralatan dan sarpras. Pembangunan disitu harus ditata sehingga tidak saling mengganggu. Sebagai contoh jika pembangunan tidak ditata dengan baik maka cost lalu lintas orang dan barang akan meningkat akibat terjadi kesemerawutan. Jika sudah jadi Pelabuhan Internasional maka akan ada hubungan interlen diwilayah bagian belakang, mulai dari Atambua, TTS, TTU, Malaka, semua akan ke sini. Ekspor impor dari dan ke Ausutralia akan langsung ke Pelabuhan Tenau, tidak harus melalui Surabaya. Dalam rangka tata dan lindungi sebagai pelabuhan internasional, maka perlu dilaksanaan penataan pola ruang dan pola struktur. Dan akan diberlakukan pola zonasi dan aturannya ada tentang sistem pembangunan berapa tinggi dan kerapatan bangunan dan sebagainya. Dan jika kita tata dengan baik dan dipatuhi perangkat kebijakan ini, maka fungsi pelabuhan akan bertahan sampai 20 tahun. Dan tidak terjadi kesemrawutan lalu lintas barang dan orang di pelabuhan dan jadi seefisien mungkin serta berjalan dengan lancar. Dalam FGD kemarin kami meminta pendapat dari semua sektor terkait apa yang akan dibangun disekitar lokasi Pelabuhan Tenau nanti. Harapannya semua instrumen yang akan kami susun ini bisa di-perdakan atau peraturan gubernur. Semua biaya penyusunan instrumen ini berasal dari Kementerian ATR dan BPN RI.” Ujar Harris dalam wawancara singkat kami sebelum workshop dimulai.” Jelas Harris.
Pembukaan workshop hari kedua, Jumat, 23/9 dilakukan oleh Harris Simanjuntak, ia ungkapkan harapannya bahwa lewat workshop ini akan diperoleh sebuah kesepakatan dan konsep bagaimana penataan instalasi listrik PLN disarpras dan infrastruktur pendukung lalu lintas barang dan orang di Pelabuhan Tenau yang berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi masyarakat NTT yang dikonsepkan untuk bertahan selama 20 tahun.
Wenselaus Gampar,SPd, M.Si, Kasie perencanaan PUPR Provinsi NTT yang mewakili Pemprov NTT, menjelaskan tentang peta kawasan menuju Pelabuhan Tenau bahwa pengendalian pemanfaatan ruang di Pelabuhan Tenau sangat strategis dan memang sudah waktunya dilakukan karena rencana gubernur untuk meningkatkannya menjadi pelabuhan internasional sehingga penataan dan pengendalian ruang sudah selayaknya dan harus segera dilakukan. Ia berharap dokumen perencanaan sebagai instrumen penataan ruang yang sangat vital ini harus di-Perdakan agar segera bisa di implementasikan. Namun jika masih ada beberapa kendala teknis dan non-teknis bisa disiasati dengan Perarturan Gubernur agar jangan tertunda rencana pengendalian dan penataannya. “Jika sebuah dokumen perencanaan yang adakah instrumen penataan ruang tidak di perdakan maka tidak akan legal dan jika terjadi seperti itu, maka sama saja seperti sebuah dokumen tidak pernah dibuat alias mubasir.” Ujar Wens serius.
Namun diakuinya bahwa payung hukum berupa Perda sangatlah penting dalam legalisasi sebuah dokumen perencanaan sebagai sebuah instrumen penataan ruang sehingga tidak terjadi problem dalam pelaksanaannya kedepan.
Konsultan Ermaula nyatakan rencananya akan dibuat koridor yang panjang dengan skala 25 ribu dan zonasi APZ bisa dikonversi sebagai muatan substansi Pergub. Dalam Dokumen tata ruang provinsi harus dibuat jaringan listrik yang lurus, sehingga mengikat kabupaten kota, untuk itu perlu direvisi RTRW-nya sudah ada sekarang.
Untuk pelabuhan Tenau, ujar Ermaula, harus ada pembahasan tentang penggabungkan semua perencanaan disemua daerah (kabupaten/kota dan provinsi), karena ini akan jadi pelabuhan internasional. “Intinya, konsepnya tidak boleh salimg mengganggu. Rencana induk pengendalian pemanfaatan ruang di Pelabuhan Tenau akan dibuat sampai tahun 2027 dan yang akan menjadi triger adalah batas masuk pengembangan Pelabuhan Tenau. Jika ada kendala maka harus dipikirkan solusi lokasi lain. KRDTL lama 2009 tapi data 2007 dan diperdakan 2011.” Ujar Ermaula.
Diakhir workshop, semua pihak sepakat untuk mendorong Dokumen ini menjadi sebuah Perda dan untuk itu akan dilakukan audiens khusus antara tim pusat Ditjen Pengendalian Pemanfaatan Ruang ATR-BPN dengan Gubernur untuk mendorong pengesahan dokumen menjadi Perda. Namun jika masih panjang waktunya hingga menjadi Perda, maka Wens memberi solusi bahwa untuk menyambut bola program ini Dokumen ini bisa lebih dahulu disahkan menjadi Pergub, sambil mendorong dokumen ini disahkan menjadi Perda.■■ Juli BR